47. Kisah yang Sebenarnya

1K 268 24
                                    

Aku berlutut di hadapan sosok pendek yang ada di hadapanku.

Sosok itu membuka tudung jubahnya, memperlihatkan wajah seorang nenek tua yang sudah putih semua rambutnya. Aku langsung melipat mulut. Degup jantung dalam dadaku naik satu tingkat.

Jika aku punya nenek, mungkin aku akan bisa mengira usia wanita tua ini, tapi di desaku dulu sangat jarang ada wanita yang lebih tua dari Ibu, jadi bertemu dengan yang setua, sekeriput dengan rambut seputih nenek ini, adalah kali pertama.

Dan bertemu yang langsung menyambutku dengan kata-kata luar biasa seperti itu, juga kali pertama.

"Apa maksudnya ini?" Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keningku berketrut begitu dalam hingga aku yakin mataku saat ini sudah tinggal segaris hitam saja di wajah.

Para sosok berjubah itu berhenti membungkuk sejak aku ikut berlutut, termasuk Edward dan yang lain juga.

Tanpa menjawab pertanyaanku, nenek itu berpaling kepada Edward dan bicara padanya dalam bahasa asing—yang ngomong-ngomong semakin terasa menjengkelkan karena aku tidak bisa mengerti dan semua orang ini memakainya seakan ingin menghina ketidak mampuanku bicara bahasa ini—Setelah bicara, nenek itu melepaskanku dan berjalan dengan lambat kembali ke arah kerumunan, bicara pada mereka, sebelum berjalan sendirian kembali ke pemukiman di tebing.

Edward tersenyum sebelum menatapku. "Baba ingin bicara. Kau diizinkan masuk ke dalam." Kemudian matanya menyipit saat beralih ke dua orang di belakangku. "Tapi kalian berdua tidak."

Kekecewaan yang merebak dari dokter John terasa menusuk-nusuk punggungku.

"Edward!" Terdengar suara familiar lain yang kini terdengar semakin feminim. Aku berpaling ke arah suara, ke pemukiman batu yang terpahat ke dinding di atas sana, melihat seorang gadis melambai-lambaikan tangan.

Suara itu sempat membuat harapanku melambung tinggi.

Tapi ia terdengar sedikit berbeda dari satu suara tertentu yang tersimpan jauh di dalam ingatanku. Sedikit lebih jernih, nyaring, dan riang, tidak lesu, serak, dan lemah seperti suara gadis mungil yang menemaniku di Serikat dahulu. Gadis yang tidak kudengar lagi kabarnya selain dari poster pengumuman.

Dari jauh, aku tidak meihat satu pun fitur wajah yang familier. Karena paruh bawah tubuhnya tenggelam di balik dinding, aku juga tidak bisa memastikan dari posturnya.

Sempat terbersit keinginan untuk menyapa gadis asing itu, tapi kuurungkan karena ragu. "Apa dia Suri?"

"Tentu saja," jawab Edward tanpa ragu, mengulum senyum tipis padaku.

"Jangan bicara seolah hal itu adalah hal yang wajar, Ed."

Ed hanya mengedikkan bahu.

"Ed." Aku memperingatkan. "Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa ada di sini? Kau dan Suri, aku melihat poster buronan kalian berdua di Inggris."

"Oh, kau rupanya sempat kembali." Ed menelisik wajahku. "Kau sendiri berhutang banyak penjelasan, Al. Kau menghilang malam itu. Tidak sepertimu yang kelihatannya punya banyak kisah, cerita kami berdua singkat: Suri dan aku yang tidak tahan lagi berada di Serikat akhirnya kabur. Kami menumpang sebuah kapal udara secara illegal. Kami berpindah dari satu Bandar udara ke Bandar udara lain."

Saat Edward bercerita, aku melihat bekas luka sobek yang banyak di jari jemari dan lengannya. Luka-luka yang tidak pernah kuingat.

"Lalu di saat aku dan Suri mendengar kalau negara bernama Turki mungkin bisa menjadi tempat aman, kami ke mari. Perjalanan yang sulit. Penyihir nyaris menangkap kami berkali-kali dan aku nyaris mengira sudah mati saat jatuh dari air terjun."

Lazarus ChestWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu