37. Membusuk di Penjara

1K 263 13
                                    

Satu bulan kemudian

Suara gerbang yang membuka itu selalu menjadi awal hari yang baru, hari yang sama buruknya dengan hari yang telah lalu.

Penjara, kukira itu kata yang mewakili tempat yang sangat mengerikan penuh mayat dan darah yang akan membuat setiap penghuninya enggan untuk menyebut nama itu sampai akhir hayat.

Siapa sangka pemikiran itu keliru.

Penjara ternyata tidak jauh berbeda dengan Serikat. Jika di Serikat, setiap kali gerbang terbuka di pagi hari, aku akan melihat langit biru, fajar yang menyingsing, dan aroma segar pagi yang terbawa angin, di sini aku melihat puluhan pasang mata menyala terang dalam gelap, mencium aroma liur mereka yang lebih busuk dari bangkai, dan mendengar geraman dan desisan mereka yang terdengar sangat lapar.

Tapi seperti yang kubilang, selain kenyataan itu, di sini keadaannya sama persis dengan Serikat.

Di sini aku harus bangun setiap pagi kalau tidak ingin mati konyol dalam tidurku, disambut oleh segerombolan hewan-hewan terkutuk yang sangat menjengkelkan yang kerjanya hanya menggeram dan mendesis, dipaksa bertarung melawan mereka sampai nyaris mati, hidup kembali, lalu sekarat lagi, dan terus seperti itu sampai jumlah mereka habis dan aku mandi dalam kubangan darah. Satu hari berakhir dan esoknya akan berulang seperti itu lagi.

Itu pun kalau hari benar berganti di dalam sini.

Setiap detik, cahaya maupun kegelapan di sel sempit ini tidak berubah. Rasanya seolah waktu sudah berhenti dan hanya aku yang masih bergerak. Aroma angin tidak tercium dari sini. Hanya ada bau lumut, darah, keringat, dan bau busuk yang tidak ingin kuketahui sumbernya dari mana. Tidak ada bau lain, tidak ada bau yang berganti. Sulit untuk mengetahui sudah berapa lama aku ditahan.

Dan aku juga tidak mau tahu sudah berapa lama aku ditahan di sini.

Suara geraman dan desisan itu mengganggu lamunanku. Menoleh dengan malas, aku melihat gerombolan anjing-anjing neraka sudah mengantri. Liur-liur anjing itu menetes, merusak lantai batu yang dingin dan lembab penuh darah. Mereka bersuara dengan suara geraman dan sesekali disertai desisan yang tidak enak didengar, mengingatkanku akan betapa menyakitkannya dikoyak oleh gigi-gigi berbisa itu dan membusuk perlahan akibat gigitannya.

Mataku melihat lebih jauh dari balik rambut yang masih basah oleh darah. Di balik gerombolan anjing-anjing neraka, ada beberapa makhluk lain dengan bola mata berwarna hijau lumut tanpa kelopak mata. Bola mata mereka yang sebesar kelereng tak lelah menatapku. Dengan wajah bejat, makhluk-makhluk itu menjilati taring mereka dengan lidah yang panjang, hitam, dan berliur.

Goblin.

Tanpa menunggu lagi, anjing-anjing neraka beserta goblin itu menyerang secara bersamaan ke arahku, membantuku memulai satu hari lagi yang luar biasa di penjara ini.

***

Semua ini akan lebih mudah seandainya aku mati.

Sayang, inilah kenyataan pahitnya, aku belum mati sama sekali. Aku memang merasakan sekarat, merasakan sakit, merasakan perih ketika taring-taring makhluk itu mencabik dagingku, merasasakan sakit luar biasa cakar para goblin menarik rambutku sampai tercabut dari kulitnya dan menguliti tubuhku hidup-hidup, tapi setelahnya, setelah waktu yang entah berapa lama, aku akan mendapati tubuhku kembali utuh.

Aku hidup dan baik-baik saja.

Tidak ada luka sama sekali di tubuhku, seakan aku tidak baru saja dicacah oleh binatang-binatang ini dalam keadaan hidup. Namun ceceran darahku dan darah beberapa anjing neraka yang menggenangi lantai memberitahuku kebenaran yang entah bagaimana bisa kulupakan. Dengan darah yang tumpah sebanyak ini, seharusnya aku sudah mati. Sayang, sepertinya ada yang menghalangiku mati.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now