71. Akhir dari Sebuah Awal

1.6K 231 47
                                    

Enam bulan kemudian

Sekali lagi mataku gatal.

Untuk kesekian kalinya, rasa gatal yang sulit dihilangkan ini kembali muncul di saat-saat yang tidak tepat. Kali ini muncul tepat satu detik setelah aku selesai berpakaian, ketika aku masih ada di depan cermin.

Dan seperti biasa juga, rasa gatal ini sulit sekali dihilangkan. Iseng, aku mengangkat tangan untuk mengusapnya dengan buku-buku jari.

Tapi satu tangan asing yang sedetik tadi belum ada di dekatku tiba-tiba saja menepuk tanganku keras sekali sampai kesemutan. Dengan kurang ajarnya aku memelototi pemilik tangan itu yang kini berdiri di sisiku.

"Kau tidak perlu sebegitu kerasnya, kan, Azran?" gerutuku kesal sambil masih mengibas-ngibaskan tangan yang sedikit mati rasa akibat tamparannya yang lumayan keras.

Aku bisa melihat urat berkedut di kepalanya. "Kau bahkan belum keluar rumah sakit dan mata transplantasi itu baru saja ada di matamu, wajar kan aku menepuk tangan kurang ajarmu yang keras kepala ini?"

"Mata ini gatal," Aku beralasan. "Maksudku benar-benar gatal," imbuhku ketika melihat dia memutar bola matanya jengkel sambil memasang wajah alasan-apa-lagi-itu.

"Tidak boleh." Penyihir itu menghela napas. "Itu mata barumu, tolong jangan dirusak. Dan tolong pakai kacamata pelindungmu yang sudah susah payah John buatkan."

"Untuk apa?" Aku mengamati kacamata pelindung milikku yang ada di atas nakar, tak tersentuh sejak Azran memberikannya padaku kemarin malam. "Di negara ini sudah tidak ada sihir."

"Kau tidak mendapatkan donor mata untuk kehilangan mata dengan cara yang sama, Alicia, karena kalau ya, artinya kau lebih bodoh dari pada keledai." Dia lantas menyodorkan sepiring apel yang sudah dipotong dan dikupas kulitnya kepadaku. "Keledai saja tidak pernah mengulangi kesalahan!"

Kuraih satu potong buah itu dan memakannya selagi Azran terus bersungut kesal mirip perempuan. "Terima kasih karena mengatai istrimu sendiri keledai."

"Aku bukan mencelamu, aku sedang menasehatimu," dengusnya sembari meletakkan kembali piring apel itu kembali ke meja ketika aku menolak untuk makan lagi. Kemudian raut cemas itu kembali muncul di wajahnya. "Selain gatal, apa kau punya keluhan lain?"

"Ya." Aku menatap Azran dengan serius selagi penyihir itu memasang wajah cemas. Sekuat tenaga, aku berusaha menyembunyikan rasa geli yang menggelitik ini ke dasar hati. "Tolong uruslah dirimu sendiri sebelum mengurusiku. Kau sudah tidak istirahat selama lima hari berturut-turut."

"Kau tahu aku tidak bisa tidur sampai semua urusan selesai."

"Kalau begitu, kerjalah dan jangan ganggu aku."

Azran mendesah lelah. "Kau selalu mampir ke hanggar diam-diam dan memperbaiki kapal yang mendarat di negara ini siang dan malam, padahal kau baru saja keluar rumah sakit, apa aku tidak boleh protes soal itu?"

Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. "Aku tidak boleh protes soal kerjamu." Dan Azran pun mendengus kesal, tapi sebelum dia bersungut-sungut atau menggerutu protes lagi, aku buru-buru menambahkan. "Kau tahu Tortuga sudah diambil alih oleh para perompak dari Karibia. Sesekali berikan mereka sedikit wilayah di sini tidak ada salahnya kan?"

Azran menggaruk kepalanya yang kuyakin tidak gatal. "Asalkan tidak terlalu menguras tenagamu." Tangannya menyentuh pundakku. "Kau sudah cukup memaksakan diri untuk menjaga Jalinan tetap utuh setiap hari bahkan dalam tidurmu."

"Itu tugasku, Azran." Aku menyentuh tangannya yang beristirahat di atas pundakku dan mengecupnya singkat, berusaha mengirimkan kekuatan kepadanya dan berusaha meyakinkannya bahwa aku masih sanggup dan masih baik-baik saja.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang