58. Ingatan yang Terkunci

959 234 16
                                    

"Kuil di negara ini sudah dihancurkan?" Aku meminta Azran mengulangi ucapannya tadi.

"Kau tidak tuli, kurasa, jadi aku tidak perlu mengulanginya."

"Hei, kau bisa sedikit lebih sopan lagi kan?" Edward mendadak membentak.

"Ed, sudahlah!" Suri menyela.

"Apa kau berbohong?" Aku bertanya, mencegah perdebatan lebih lanjut. Mataku dan Azran bertubrukan. "Kau berbohong atau tidak?" Aku tahu dia sudah bersumpah dan sebagainya, tapi percaya pada penyihir tidak akan pernah masuk tindakan yang akan kulakukan tanpa berpikir seribu kali lebih dulu.

"Tidak." Sejauh ini jawabannya terdengar meyakinkan. Wajahnya pun tidak terlihat berbohong.

Jadi ambil saja kemungkinan bahwa memang kuil di negara ini sudah hancur.

Menurut informasi Baba, hanya ada satu kuil di negara ini. Tiga di Benua Asia, tiga di benua Eropa, tiga di Dunia Baru, dua di benua Harapan, dan dua di Daratan Es. Jika yang satu ini sudah hancur, kami harus mencari ke negara lain, negara paling dekat dengan negara ini.

"Bukankah ada dua kuil lagi di benua ini, Ed?" Aku menyuarakan pikiranku.

"Itu benar, tapi ...." Edward kelihatan keberatan. "Aku pun tidak tahu letak negara tempat kuil lain berada, Al. Orang yang buta navigasi seperti kita, hanya akan dibohongi oleh seluruh armada kapal udara."

"Hindia-Belanda." Aku bersuara cukup lantang, yakin Azran mendengarnya dan yakin pelindung sihir hitam yang melapisi pelindung ini sudah meredam seluruh suara yang mungkin dapat didengar pihak luar dari dalam pelindung ini. "Kau tahu di mana negara itu berada?"

"Ya." Azran menjawab dengan suara lemah.

"Kau tahu cara pergi ke sana?"

Azran diam selama dua detik, kelihatan menimbang-nimbang. "Ada kapal sipil yang setiap hari mengangkut barang dan penumpang di negara ini menuju negara itu. Mereka terbang pulang pergi dari Hindia-Belanda dan datang kembali ke mari."

"Kau bisa membimbing kami kalau begitu."

"Kenapa aku harus melakukannya?" Ekspresi Azran serius, tapi firasatku berkata dia sedang berusaha memanfaatkan situasi ini, seperti sifat wajar para perompak.

Aku baru mau bicara ketika Suri menarik-narik lengan bajuku. "Al, jangan, firasatku buruk soal ini," bisiknya, kelihatan takut sekali. Ternyata bukan hanya aku yang firasatnya buruk di sini sekarang. "Berunding dengan perompak apalagi perompak itu juga penyihir ... sama sekali bukan ide bagus."

"Tenang saja," hiburku, yang sayangnya berakhir sia-sia belaka. Suri tidak kelihatan terhibur, malah kelihatan semakin takut akan apa yang mungkin dapat keluar dari mulutku. Mengabaikan kecemasan di wajahnya dan gelengan diam-diam Edward, aku menatap Azran yang mengintip dari balik pohon. Mata emasnya kini menatapku. "Aku hanya bicara, bukannya memintamu. Kalaupun kau menolak, itu bukan masalah buatku. Aku bisa melakukannya sendiri karena tanpa kau mengawasiku sekalipun, aku akan tetap ke kuil, tanpa peduli apa kau sudah atau belum melaksanakan kewajibanmu sesuai kesepatakan kita."

Aku tidak terlalu bisa melihat jelas wajahnya, tapi aku yakin dia sedang menyeringai. "Kau bilang tidak membutuhkannya lagi."

Terkadang laki-laki bisa sangat tolol dan pelupa. "Bukan aku yang mendadak mengubah situasi seenak hati," geramku. "Kalau Jalinan sudah diperbaiki sekarang dan kalau kuil di negara ini belum hancur, aku tidak akan butuh bantuanmu."

Matanya menyipit. Pendar di mata itu semakin terang dan pupilnya yang seperti ular tampak menipis. Giginya bergemeretak. Perompak di hadapanku ini tidak ragu menunjukkan emosinya yang meletup. Aku tidak perlu jadi orang yang memahami seseorang untuk tahu dia sedang marah. Dan kemarahannya tidak main-main.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now