12. Dijual

1K 309 12
                                    


Bar Simon's tidak pernah mati sepanjang hari setiap tahun meski makanan di sini tidak pernah enak. Di pulau yang selalu penuh dengan perompak yang butuh penghiburan, bar sejorok Simon's pun akan selalu ramai. Buktinya seperti hari ini, meski pelelangan sudah usai, isi bar tetap saja ramai oleh ocehan mabuk para pelanggannya.

Kuabaikan semua riuh rendah yang masih berlangsung di dalam. Mengendap-endap agar tidak ada yang melihatku di jendela, aku menyelinap ke dalam Simon's lewat pintu belakang, pintu yang biasa digunakan pegawai dan para pedagang. Henry dan Louis lenyap. Tak terlihat di belakang bar maupun di dalam bar.

Aman. Aku bisa lolos dari amarah Louis hari ini.

Aku baru akan pergi ke dalam bar untuk membantu para pegawai melepas tatanan panggung ketika kepala Henry menyembul dari lubang pintu yang menghubungkan bagian depan dan belakang bar. Dengan wajah datar, ia menatap wajahku lekat-lekat.

"Ada apa?" Aku bertanya, tak nyaman dengan caranya menatap.

"Louis memanggilmu."

***

Meja kayu usang yang berada di kantor Louis hari ini penuh dengan puluhan kantung kulit gemuk yang berdecing nyaring. Meja kayu coklat tua yang empat kakinya telah lapuk itu melesak hampir patah, tak sanggup menahan berat koin-koin yang ditanggungnya.

Louis duduk di belakang meja yang hampir patah itu, menuangkan koin-koin emas ke dalam kantung kulit terbesar di atas meja dengan wajah berseri-seri mirip anak kecil. Pemandangan yang aneh, aku tahu.

Tapi bukan pemandangan itu yang membuat sekujur tubuhku merinding.

Rasa sakit menyengat mataku ketika melirik sang penyihir tambun yang duduk santai di seberang Louis di satu meja yang sama. Sekali lagi sensasi panas itu tersulut ketika sulur-sulur hijau zamrud milikku menghampiri sihir dalam wujud asap merah-hitam yang meliuk mengelilingi tubuh Louis dan tubuhku, memenuhi ruangan ini dengan panas yang terasa menyesakkan.

Louis mengintip dari sudut mata. Ibu jarinya yang gemuk menunjuk wajahku. "Yang ini, Sir?"

Sang penyihir tambun menyeringai senang, kontras dengan tubuhnya yang bergerak tak nyaman di atas kursi kayu tanpa lengan itu. Aku sudah membayangkan tubuh tambunnya berdebam di lantai secara memalukan ketika suara parau itu keluar dari mulutnya. "Ya, dia orangnya."

"Apa?" Aku mengamati wajah mereka berdua dengan bingung sementara peluit tanda bahaya berbunyi nyaring dalam kepalaku, seirama dengan denyut sakit yang semakin menjadi-jadi. "Apa maksudnya, Sir?" Aku menuntut jawaban dari Louis.

Majikanku selama tiga tahun itu hanya menyeringai. Matanya menempel padaku, kemudian tangannya menunjuk penyihir yang duduk di seberang meja. "Dia majikan barumu sekarang."

Jantungku meluncur jatuh ke ujung kaki. "Apa? Ta-tapi ...." Aku menatap penyihir itu. Seringai mengembang penuh di bibirnya yang tebal. Kutahan denyut sakit di mataku untuk berpindah ke Louis lagi, mengiba sebisa yang aku mampu. Ini terlalu mendadak dan aku tidak bisa menerimanya. Selain itu, penyihir? Lagi? Ayolah! "Tapi saya masih ingin bekerja di sini, a-apa salah saya sampai—

Tangan Louis terangkat ke udara, menghentikan ucapanku seketika. "Ini hanya soal bisnis, Alto," jawabnya. "Aku kelebihan pekerja, Tuan ini kekurangan orang. Aku butuh uang, Tuan ini mau memberi uang. Semudah itu saja. Tapi mungkin kalau ditanya soal alasan ... aku ingin wajah baru untuk Simon's."

Kantung lemak sialan, mata duitan, tidak kenal terima kasih!

"Tidak kurang, tidak lebih." Louis berucap bahagia saat mengencangkan ikatan tali pada kantung emas besar itu, mengakhiri hitungannya. "Senang berbisnis dengan Anda, Sir." "Henry!" Louis berseru. "Bawakan aku satu tricky!"

Lazarus ChestOnde histórias criam vida. Descubra agora