6. Lari, Lari

1.3K 352 28
                                    

"Apa yang kau lihat?" Geramnya tak senang dari sela-sela gigi yang terkatup rapat dan rahang yang mengeras.

Sekuat tenaga, aku tetap memasang wajah tenang selagi menahan perih yang meningkat karena jarak yang memendek tiba-tiba. "Maaf, Sir." Aku menepiskan tangannya yang kurang ajar tanpa kesopanan sedikit pun. "Aku tidak mengerti maksudmu."

Dia tergelak. "Jangan sok suci di hadapanku. Aku melihat caramu memandang tubuhku tadi," ujarnya penuh kepercayaan diri yang sedikit banyak membuatku mual. "Aku berani bersumpah liurmu hampir jatuh."

Tanganku langsung mengusap bibir, takut benar-benar ada iler di sana yang ternyata tidak ada. Laki-laki di hadapanku tergelak puas. Mengherankan bagaimana bisa dia sedetik tadi kelihatan hampir mati dan sekarang tampak baik-baik saja. Mungkin aku sudah terlalu buruk menilai keadaannya.

Setelah menggeram kesal, aku mengusap luka basah itu lagi. Dengan sengaja, aku menekan sedikit lebih keras ketika membersihkan lukanya sebagai pembalasan. Tindakanku itu sukses membuatnya meringis. Membungkam mulut terlampau percaya dirinya seketika. Kami bertukar pandangan kesal.

"Aku ini laki-laki," tegasku.

Pemuda itu memberengut. Matanya menyisir penampilanku dari kepala hingga kaki sebelum tubuhnya kembali rileks. Terdengar dengusan pelan darinya.

"Tatapanmu jelas menyiratkan rasa iri yang kental sampai memenuhi udara." Ia menyeringai. "Mau tahu rahasia bagaimana aku membentuk otot-ototku sampai seperti ini?"

Malas meladeni tingkat kepercayaan dirinya yang kelewat tinggi, aku pergi membersihkan kain ke tepian kolam. Bolak-balik aku membasahi kain pembersih, membersihkan luka, dan membersihkan kain berdarah-darah ke kolam secara bergantian. Bersihnya darah dari tubuhnya memberiku pandangan lebih jelas apa yang ditutupi oleh cairan merah itu.

Lima luka sayatan pedang menganga di tubuhnya, menampilkan kerat daging yang terbelah mulus. Sayatannya cukup dalam hingga membuatku yakin dapat memasukkan jari utuh ke dalamnya.

Setelah yakin tidak ada sisa darah, aku mengeluarkan salep pemberian Suri dan mulai mengoleskannya ke atas luka-luka itu. Pertama aku mengoles salep itu pada luka di pelipisnya lalu bergerak turun ke luka-luka di tubuhnya. Berkali-kali tubuh pemuda itu tegang saat aku mengoleskan salep di lukanya yang membuka lebar. Dahinya berkerut semakin dalam, peluhnya semakin deras bercucuran, dan aku berani bersumpah mendengar giginya bergemeretak.

"Tato ini kelihatan rumit." Aku mencoba mengalihkan perhatiannya sekaligus perhatianku sendiri dari rasa sakit yang mendera masing-masing dari kami. Dari reaksinya, rasa sakit luka ini kuasumsikan sama buruk dengan sakit akibat cambuk sihir. "Kau punya selera tato yang bagus, Sir. Seniman mana yang mengukirnya?"

"Bukan urusanmu!" desisnya tak suka.

Rasa sakit yang tak mau pergi akhirnya memaksaku berhenti. Aku menundukkan kepala, meringis, menekan kedua mata, dan beringsut menjauh ke tepian kolam sambil berharap rasa sakitnya berkurang.

"Ada apa?"

"Sihir keparatmu! Aku alergi sihir!" Aku menggeram kesal.

Lalu mendadak saja rasa sakit itu lenyap. Tidak ada denyut tersisa. Sama sekali. Aku mengerjap bingung. Berulang kali aku berkedip, berusaha meyakinkan diri bahwa mataku memang tidak sakit lagi. Dan memang benar rasa sakitnya sudah lenyap. Benar-benar musnah. Tidak lagi terasa sakit.

"Sudah baik-baik saja?" Pemuda itu bertanya lagi. Aku memandangnya dengan pandangan bertanya-tanya apa yang sudah terjadi dan apa yang ia sudah lakukan, namun kontak mata kami terputus sebelum sempat ada jawaban muncul.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang