17. Bicara Berdua

1.2K 309 40
                                    

Sepanjang lorong, aku terus mengamati cairan merah gelap dalam botol kaca yang ada dalam genggaman tanganku. Dokter bilang ini tonik untuk memulihkan kondisi badan ... untuk kapten Xerlindar.

Aneh juga harus mengantarkan ramuan seperti ini. Pemuda itu kan penyihir, seharusnya dia tidak butuh tonik karena punya pemulihan sendiri. Tapi aku tidak pernah mengatakan hal itu dan hanya keluar ruangan, mematuhi perintah dokter John.

Deru mesin bergaung di dalam dinding-dinding besi. Lantai di bawah kakiku bergetar pelan akibat gerakan kapal yang mengudara. Tidak ada lagi sulur-sulur energi berwarna merah delima. Tidak ada lagi rasa sakit yang tersisa di mataku. Kapal ini benar-benar tengah dijalankan dengan tenaga manual.

Tapi kenapa mereka menyediakan dua mode energi dalam kapal ini? Kenapa tidak menggunakan salah satu?

Benar juga, warna sihirnya tidak murni. Pasti akan sangat sulit mengendalikan kapal sebesar ini sepanjang waktu tanpa adanya energi cadangan. Tidak heran Kapten pingsan. Mengendalikan kapal dengan sihir terbatas saja sudah sulit tanpa harus ada kompetitor yang terus menerus memakan sihirnya tanpa ampun. Seandainya ada cadangan sihir pun, belum ada penampung yang dapat menampung sihir lebih dari dua jam energi untuk mengudara dalam kondisi kapal digunakan secara penuh. Kebijakan yang bagus dan sangat berguna untuk menyediakan dua mode energi di dalam kapal. Berkat itu, perjalanan kapal tidak terhambat sekarang.

Merenung selagi berjalan di sepanjang lorong, aku sadar mulai sekarang, semuanya akan berbeda. Semua awak pasti menyaksikannya.

Aku meraung-raung seperti orang gila di ujung ramp, ada goncangan keras seiring dengan teriakanku yang menggema, dan kapal pun mati. Itu bukan kejadian biasa dan wajar saja jika banyak yang ingin melemparku.

"Hei, hei, hei, selebriti baru kita sudah sadar!" Benci mengakui ini, tapi aku senang tidak mendengar sarkastik apapun di dalam kalimat itu.

Dari ujung lorong, Will berjalan menghampiriku. "Tidurmu nyenyak?"

"Lumayan," jawabku sekenanya.

"Senang mendengarnya, tapi kau berhutang banyak penjelasan pada kami." Nada serius Will membuat detak jantungku meningkat satu detakan. "Pertama-tama soal matamu yang berdarah banyak sekali itu. Apa kau tahu aku fobia darah tapi kebagian tugas harus menggendong dengan matamu yang mengeluarkan air mata darah itu sampai ke ruangan dokter John?"

"Maaf."

Will mendadak canggung entah untuk alasan apa. "Yah, sudahlah. Sebenarnya Kaptenlah yang berhutang banyak, jadi tidak usah dipikirkan." Ia kembali tersenyum ringan. "Itu kekuatan yang hebat, kau harus lebih melatihnya. Aku ingin lebih sering melihat Gillian panik seperti itu."

Kekehan Will menyiramkan air yang dingin menusuk ke kepalaku. Kata-kata dokter John di ruangannya tadi terngiang di dalam pikiranku.

Kekuatan ini adalah sihir.

"Kau tahu, untuk ukuran orang yang alergi sihir, kau cukup parah. Aku belum pernah melihat ada yang sampai berdarah-darah seperti itu. Kalau reaksi alergi biasa, aku pernah melihatnya," ungkapnya panjang lebar. "Aku pernah punya teman yang langsung kebas tangan kanannya kalau melakukan kontak dengan sihir."

Aku tahu ke mana topik ini akan berlabuh, jadi buru-buru aku mengalihkannya. "Aku dengar ada yang ingin melemparku keluar kapal." Aku menyuarakan kecemasan yang tadi terus menghantuiku itu. Jika ada yang berniat demikian, aku tidak akan pernah bisa tidur tenang di sini.

Sekarang Will tampak jengah. Matanya mengawasi dengan tajam semua orang yang mengawasi kami dengan tatapan-tatapan curiga dari berbagai arah. Atmosfer berubah berat menyesakkan di detik pertama aku menunjukkan wajahku di aula utama kapal. Jika di awal, sambutan mereka dingin, mungkin sekarang benci dan penuh curiga adalah kata yang tepat untuk menggambarkan tatapan-tatapan tajam tak bersahabat itu. Tidak ada wajah Gillian maupun kapten Xerlindar sepanjang mata melihat.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now