49. Azran: Dua Raja Bertemu

1.1K 266 31
                                    

Penyihir keparat? Sekarang aku tahu dari mana Alto mendapatkan pelajaran tata bahasa.

Pemuda itu bersiaga di sana, dari balik tembok batu setinggi tujuh kaki yang dipasang di sekeliling reruntuhan pemukiman yang seharusnya kosong itu, sambil mengarahkan panahnya kepadaku. Di sampingnya, seorang gadis berambut pirang yang sepertinya juga teman Alto, berdiri. Tidak seperti Edward, gadis itu terlihat sangat ketakutan saat bertemu pandang denganku. Ia sebisa mungkin menyembunyikan diri di balik punggung Edward, sekuat tenaga berusaha untuk tidak terlihat mataku.

Alto mengusap sisa darah dari matanya dan berbalik, pandangannya mengikuti arah mataku. Dalam satu helaan napas, muncul binar kehidupan di matanya ketika menatap pemuda yang berada jauh di sana, binar berbeda yang tidak pernah ia tunjukkan padaku. Keberadaan Edward seolah menyalakan percikan harapan dan kehidupan yang telah lama lenyap tertelan keputus asaan dalam dirinya, sementara keberadaanku seolah justru memicu keputus asaan itu untuk membusuk dan menggerogoti seluruh Alto.

Anak panah di tanganku patah jadi dua.

"Al, apa dia menyakitimu?" Edward bertanya, suaranya yang lantang bergema di seluruh dinding tebing.

"Tidak!" Alto menyahut dengan ikut berteriak. "Kami hanya berunding!"

Namun jawaban itu tidak memuaskannya. Pemuda itu, meki sudah menarik mundur busur dan anak panahnya dari posisi membidik, tetap saja berlari dengan tergesa-gesa menuruni tangga dan keluar dari desa secepat angin bersama temannya, repot-repot menghampiri kami yang baik-baik saja di sini. Dengan sorot penuh kebencian yang tak sedetik pun pernah melepaskanku, pemuda itu menghampiri Alto.

Sekali lagi, dengan mudah ia dapat mengundang senyum lembut gadis itu.

"Al!" Gadis asing berambut pirang itu memeluk Alto singkat dan erat sebelum dengan cemas mengecek seluruh wajahnya dan memekik kaget. "Astaga! Apa ini darah? Demi Bintang-Bintang, Alicia, matamu merah sekali! Apa yang terjadi padamu? Kau disakiti?"

Telingaku berjingkat. Alicia?

Alto menjauhkan gadis itu darinya dan memberinya senyum menenangkan. "Tidak, aku tidak apa-apa, Suri," tegasnya. Namun seolah belum percaya, Edward ikut campur, hampir merebut Alto dari tangan gadis bernama Suri itu. Dengan gerakan posesif yang sebenarnya sama sekali tidak berhak ia tunjukkan, pemuda tengik itu membalik wajah Alto, membuat gadis itu dengan enggan berdiri berhadap-hadapan dengannya.

Wajah pemuda itu berubah horor. Kedua tangannya menangkup wajah mungil Alto.

Dia. Menyentuh. Alto.

Anak sialan.

"Apanya yang tidak apa-apa? Matamu berdarah lagi!" Dia mengelus tulang air mata persis di bawah pelupuk mata Alto. "Kita harus obati ini segera." Tapi alih-alih benar kembali ke desa, sepasang mata hijau cemerlang itu malah mendelik ke arahku. "Apa ini ulahmu? Apa kau terus memaksanya? Dia punya alergi sihir yang parah, kalau kau belum tahu! Jadi kendalikanlah sihirmu itu sebelum kau membuatnya—

"Edward." Suara Alto serta merta menghentikan racauan pemuda tengik itu.

Suara Alto tadi cukup pelan, tapi hanya dengan satu suara sepelan itu, Edward berhenti bicara dan menoleh, menatap gadis berambut gelap itu dengan wajah tidak percaya, berharap yang memanggilnya dengan suara dingin penuh peringatan tadi bukanlah gadis yang sedang ada di hadapannya. Sayang, kenyataan tidak pernah sesuai harapan, termasuk kenyataan kali ini.

"Ini urusanku." Alto meyakinkan Edward bahwa yang baru saja memanggilnya adalah benar dia dengan bicara sekali lagi, dengan nada dingin yang sama yang digunakannya padaku.

Ada kepuasan aneh dalam diriku melihat wajah Edward berubah pias, kepuasan yang sama sekali tidak sedikit.

Sekali lagi air mata darah menetes dari kedua mata Alto. Setelah mendapat peringatan, Edward hanya diam, tak lagi berucap apa-apa selain mengusap semua darah itu dari pipi Alto.

Lazarus ChestNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ