1.

13.5K 855 29
                                    



"Udahlah, mending kamu gak usah pulang aja sekalian. Kalau misalnya harus ditunda lagi." Sambil duduk bersedekap di depan meja kerjanya, Hana mengembuskan napas kasar, meniup-niup helaian rambut yang menjuntai di depan wajahnya.

"Jangan salahin aku, kalau akhirnya aku berpaling," gerutunya setengah mengancam laki-laki yang menjadi teman bicaranya, lewat telepon.

"Udah mau empat tahun, dan kamu bilang aku masih kurang sabar? Gak usah bercanda. Ya udah, hati-hati ... jangan genit-genit sama bule! Iya, kamu juga harus jaga kesehatan, pokoknya gak mau dengar kabar kalau kamu sakit lagi. I love you too. Waalaikum salam."

"Cowok lo, gak jadi pulang lagi?"

Hana menggeleng." Dia bilang kalau gak minggu sekarang paling minggu depan." Matanya kini mendelik pada Resi, sahabatnya yang asik mengunyah kacang almond sambil menatapnya. "Gue tau, gue itu cantik, tapi lo gak usah ngeliatin gue sampai segitunya," ucap Hana merasa terintimidasi.

"Lo punya rasa curiga, gak sih? Kenapa si Ari kayanya betah banget di sana, sekalinya pulang ke Indonesia juga paling cuma seminggu. Jangan-jangan dia punya cem-ceman bule di sana?" Mata Resi terbelalak, menutup mulutnya sambil menggelengkan kepala.

Hana berdecak, mendadak kesal karena Resi yang tiba-tiba berubah menjadi kompor sumbu, kalau saja yang duduk di depannya ini bukan teman yang setia terhadapnya, sudah barang pasti, Hana tidak akan segan-segan mendorong tubuh si rambut keriting itu dari lantai 3 butiknya, tempat mereka duduk sekarang.

Tentu saja dia pernah merasakan curiga bahkan sering merasakan hal itu. Dia perempuan normal juga, yang kadang suka berpikir negatif tentang kekasihnya. Contohnya, jika  seharian Ari tidak memberinya kabar  maka Hana juga pasti akan marah. Tapi, Hana sadar, dia bukan lagi ABG yang harus menggalau hanya karena harus menjalin hubungan jarak jauh dengan berbagai macam masalanya. Dia sudah 22 tahun sekarang dan hatinya sudah terlalu kebal untuk mendengar sindiran dan nyinyiran yang ditujukan untuknya ataupun untuk Ari.

"Gue sih percaya, kalau dia gak mungkin berani macam-macam di sana. Lagipula, dia jarang balik karena emang lagi fokus supaya kuliahnya cepat selesai."

"Ya elah, Han ... Laki-laki itu jangankan jauh dari kita, dekat dari kita aja masih berani lirik-lirik cewek lain. Apalagi kalau jauh, beda negara pula."

Hana mendengus. Si rambut keriting ini benar-benar mirip kompor, bukan lagi kompor sumbu, tapi kompor gas.

"Cowok gue juga punya mata, Res, jadi wajarlah kalau dia lirik-lirik. Emangnya cowok lo!" sungut Hana.

Resi menutup toples almondnya lalu mengelus dada. "Ari itu ganteng, tajir, baik pula. Apalagi sekarang, pesonanya makin melumer aja setelah tinggal di luar. Jadi, akan sangat mustahil kalau di sana gak ada cewek yang naksir dia." Resi diam sebentar lalu tersenyum jahil. "Kalau boleh jujur sih, gue juga naksir."

"Teman macam apa lo? Naksir sama pacar teman sendiri." Hana meremas kertas hvs yang sedang dipakainya untuk membuat rancangan, lalu melemparnya tepat di wajah Resi. "Inget! Sebulan lagi lo kawin."

Hana menekuk muka mendengar kalimat usil dari Resi, tiba- tiba pikirannya mendadak kosong. Bahkan rancangan gaun pengantin yang digambarnya untuk dikenakan Resi, di hari pernikahan sahabatnya itupun mendadak jadi berantakan. Resi brengsek!

"Emang apa sih sebenarnya yang membuat lo bertahan sampai sekarang LDR-an sama si Ari?"

Hana diam, jika menjawab karena dia sangat mencintai Ari, sudah pasti Resi akan menertawakannya.

"Apa hanya karena lo udah dekat sama keluarganya, jadi lo ngerasa segan kalau sampai harus udahan sama dia?"

Hana tersenyum. "Sampai saat ini gue gak kepikiran sedikit pun untuk udahan, dan keluarganya juga sama sekali gak ngekang gue. Yang pasti mereka sangat realistis."

i'm yoursOù les histoires vivent. Découvrez maintenant