I'm Yours.14

7.9K 659 54
                                    


Maaf, kalau cerita ini dan yang lainnya agak sering telat 😭 soalnya menjelang akhir tahun kerjaan lagi numpuk-numpuknya. Tapi sebisa mungkin aku usahain update kalau ada waktu luang 🙏 💕

》》》》》

Ari berjalan pelan di samping Dhika menuju parkiran, sesekali bola matanya bergerak memperhatikan bengkel yang sudah sangat sepi, ditinggalkan semua karyawan yang sudah pulang sejak satu jam yang lalu, menyisakan beberapa security yang bertugas jaga malam.

"Mama kamu gak bisa ditelepon," gumam Dhika, "kenapa ya?"

"Gak tau. Aku gak bawa hape. Tadi bukannya Papa udah teleponan? Ngasih tau kalau kita mau mampir dulu ke tempat kerja Tante Muti," balas Ari sambil menelan ludah, gugup.

Dhika mengangguk. "Tapi Papa lupa gak nyuruh dia berangkat ke sana duluan."

"Oh," sahut Ari sekenanya. "Padahal tadinya aku gak mau mama ikut ke rumah sakit."

"Kenapa?" tanya Dhika, heran. "Justru kalau mama kamu ada di sana bagus dong, jadi kalau ada apa-apa Papa gak sendirian."

"Jadi, Papa ngarepin aku kenapa-napa?" Ari mendelik tidak suka. Tidak suka karena sepertinya ia akan segera terciduk.

"Ya, gak gitu juga," jawab Dhika, gelagapan. "Maksudnya, jadi Papa ada temennya gitu. Ada juru bicara yang bakalan ngewakilin Papa nanyain ini itu. Tau sendiri 'kan kalau mama kamu itu cerewet. Terus dia juga pasti ngomel---" Dhika diam sebentar ketika menyadari kesalahannya sudah menggerutu di samping Ari, yang tiada lain adalah sekutu istrinya. "Untung cantik," lanjutnya.

Ari mendengus. "Bilang aja kangen udah gak ketemu seharian ini. Walaupun cerewet, doyan ngomel tapi tetep aja Papa gak bisa jauh lama-lama sama mama."

"Yaiyalah, namanya juga sama istri." Dhika tergelak. "Kalau kamu mungkin bisa aja hidup tanpa mama kamu, tapi Papa gak bisa. Gak bisa hidup tanpa istri Papa."

Ari mengulum senyum, antara merasa geli dan kagum mendengar ungkapan puitis papanya tersebut.

"Serius lho, Bang. Papa gak bisa bayangin gimana hidup Papa kalau gak ada mama kamu. Dia masih mau tinggal di deket Papa di masa-masa sulit kita dulu."

"Sesulit apa?" tanya Ari sembari merangkul pundak papanya, tanpa perasaan sungkan sedikitpun. Rasa ingin tahunya tiba-tiba saja berada di level tertinggi.

"Sulit banget," gumam Dhika,"dia mau nerima ajakan nikah dari Papa meskipun dia tau Papa belum punya kerjaan, mau ikut berjuang minta restu ke Oma dan yang paling sulit, mama kamu masih mau jadi istri Papa walaupun dia udah tau kalau kita gak mungkin punya keturunan."

"Tapi Papa akhirnya harus bersyukur karena di balik masalah itu ternyata Allah udah menyiapkan anugrah yang gak pernah Papa pikirkan sebelumnya. Sekarang, selain Papa punya istri yang setia, Papa juga punya anak yang luar biasa," ujar Dhika. "Percaya deh Bang, setiap kesulitan yang kita hadapi dengan penuh kesabaran pasti akan berbuah manis."

Ari tersenyum miris. Bukan karena miris mendengar cerita tersebut, melainkan merasa miris pada dirinya sendiri yang terkadang masih sering mengeluh akan masalah yang kerap datang kepadanya. Padahal jika dibandingkan dengan masalah yang pernah dihadapi orangtuanya, masalahnya itu belum ada apa-apanya. Bahkan seujung jari pun rasanya tidak akan ada.

"Tapi Papa harap kamu gak akan pernah mengalami hal seperti itu. Papa yakin kehidupan kamu akan lebih baik dari Papa. Entah itu pekerjaan ataupun kehidupan keluarga kamu nantinya, Papa yakin pasti akan jauh lebih baik."

"Aamiin," sahut Ari sambil merangkul pundak papanya semakin erat. "Semoga aku juga bisa jadi cowok hebat kaya Papa."

"Gak bisa," balas Dhika.

i'm yoursWhere stories live. Discover now