i'm yours 34.

6.5K 579 32
                                    

Di antara Dhafin dan Ari, Hana jadi orang pertama yang menghabiskan Makanannya. Sementara kedua laki-laki yang masing-masing duduk di depan dan sampingnya masih sibuk menyuapkan makanan sambil sesekali memainkan ponsel. Apalagi Ari.

"Bisa gak tangan kalian itu dipake pegang sendok sama garpu aja?" Hana bersedekap, matanya melirik bergantian antara Ari dan Dhafin.

"Ayah nge-chat." Dhafin mengacungkan ponselnya ke hadapan Hana, lalu menaruhnya di atas meja. Melanjutkan makan. Jelas terlihat kalau dia takut.

Kini tatapan Hana beralih ke laki-laki di sampingnya yang tidak bergeming sedikitpun. Matanya fokus pada layar ponsel seolah tidak mendengar ada yang berbicara.

"Serius banget?" Hana mendekatkan tubuhnya ke Ari sambil mencuri pandang ke arah ponsel yang ada di genggaman laki-laki itu. "Ngobrolin rencana buat besok?" lanjutnya tak yakin saat melihat kolom chat dipenuhi nama Genta.

Tubuh Ari menegak, dia menaruh sendok kemudian melirik Hana. "Sejak kapan punya hobi ngintip?"

Hana mengangkat alis lantas tersenyum. "Sejak tahu kalau kamu susah ngomong jujur."

"Gak perlu diintip juga nanti pasti akan aku ceritain, Jenong!" Kepalan tangan Ari mendarat lembut di kening Hana.

"Nanti kapan?"

"Ya nanti," sahut Ari seraya tersenyum manis kemudian mematikan ponselnya. Meletakkan benda tersebut di samping piring makanan yang sedang disantapnya. Walau Hana tidak sedang marah, tapi Ari tahu lama kelamaan gadis itu akan marah juga kalau dirinya tetap ngeyel.

"Iya nanti. Nanti kalau kamu udah kepergok." Hana manggut-manggut membenarkan ucapannya sendiri yang terkesan menyindir. "Awas aja kalau sampai aku tahunya dari orang lain."

"Tahu dari orang lain gimana, orang yang tahunya juga cuma aku sama si Genta doang." Ari mengambil lagi sendok yang diletakkannya tadi lalu melanjutkan makan.

"Kebiasaan!" Hana berdecak.

Ari menelan makanannya lalu menatap Hana."Lagian kami bukan ngobrol masalah penting kok, cuma masalah kerjaan aja sama rencana ziarah besok."

Hana tidak memberikan respon, gadis itu malah memperhatikan raut wajah Ari yang tampak serius.

"Aku lagi gak kepikiran buat ngelakuin hal gila, kok. Jadi kamu tenang aja," ujar Ari sambil memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Mengunyahnya cepat. "Emang orang sakit ini bisa ngelakuin apa sih, Han? Selain nungguin bantuan dari orang lain," sambungnya, memelas.

"Masalahnya orang sakit di deket aku ini beda." Hana merubah posisi duduknya jadi menghadap Ari sembari merogoh selembar tissue dari dalam tas selempangnya. "Fisiknya doang yang sakit tapi kelakuannya nggak," ucapnya sambil mengelapkan tissue yang diambilnya ke kening Ari yang dibasahi keringat dingin. "Mau ngaca gak? Supaya kamu lihat wajah kamu sekarang tuh kaya apaan?" godanya.

Ari mendelik sekilas ke arah Hana kemudian menoleh ke arah Dhafin yang kebetulan sedang memperhatikannya. Sambil sedikit meringis, Ari memegang lengan Hana. Secara tidak langsung meminta gadis itu menghentikan kegiatannya.

"Kenapa?" Hana menghentikan gerakan tangannya sambil mengikuti arah pandang Ari. Saat melihat apa yang dimaksud Ari, dia pun langsung bertanya, "si Dhafin? Kenapa?"

Sadar kalau Hana sedang membicarakannya, Dhafin pun langsung memalingkan wajah.

"Biarin aja." Senyum jahil Hana tersungging begitu saja, terlebih saat melihat ekspresi tidak enak dari Dhafin. "Biarin aja, biar dia ngeces ngeliat kita."

Ari berdecak sambil memutar bola mata. Sementara Dhafin langsung berdiri seraya memberikan tatapan membunuh pada Hana.

"Mau ke mana?" tanya Ari kaget.

i'm yoursDonde viven las historias. Descúbrelo ahora