6.

8K 684 32
                                    

"Nah, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga."

Hana langsung tersipu mendengar sambutan yang diberikan oleh Rani kepadanya saat dia baru saja memasuki rumah bagian ruang tamu.

"Maaf agak telat, Tan." Hana menyalami tangan Rani kemudian mencium kedua pipi wanita di hadapannya itu.

"Gak apa-apa, bukan salah kamu. Emang yang jemputnya aja telat, gara-gara minta dikerokin dulu." Rani mendelik pada Ari yang berdiri di belakang tubuh Hana.

Hana mengulum senyum.

Sementara yang dibicarakan hanya mengangkat alis, acuh tak acuh.

"Ya udah, mending kita langsung masuk terus makan aja," Rani menggandeng tangan Hana menuju bagian rumah yang lain yaitu ruang makan.

Di ruang makan, Hana melihat kalau ternyata ada Mutia dan Ditya juga, om dan tantenya Ari yang sedang bercengkrama dengan Dhika. Hana mendadak merasa minder, jika saja tadi Ari mengatakan kalau mereka akan makan malam dengan keluarga besar. Mungkin Hana akan berdandan dan mengenakan pakaian terbaiknya. Tidak muncul dengan penampilan seperti ini.

"Kebetulan nih, mantu Mas Dhika datang di waktu yang tepat. Jadi kita bisa pamitan sekarang."

Hana tidak mengerti dengan maksud ucapan Ditya, bukannya mereka mau makan malam bersama? Kenapa Ditya malah mau berpamitan. Lalu apa itu mantu? Calon mantu, baru benar.

"Pamitan terus dari tadi, tapi berangkatnya nggak," celetuk Ari. Membuat Hana menoleh ke arahnya lalu mendelik.

"Papa kamu tuh yang ngajak ngobrol terus," tuduh Ditya sambil berdiri dari duduknya lalu mengajak istrinya berpamitan pulang.

Bukan pulang yang sebenarnya pulang, ternyata mereka akan menghadiri resepsi pernikahan. Selepas Ditya dan istrinya pulang, Hana beranjak mendekat pada Rani diikuti Ari lalu menyalami Dhika yang duduk tidak jauh dari istrinya.

"Gak tau deh gimana mami bisa kuat pas mereka tinggal bareng." Rani menggerutu setelah melihat keributan antara anak dan adik iparnya tadi sambil menghidangkan makanan di atas meja. "Tiap ketemu pasti cekcok terus."

"Papa, udah pulang dari KL, Han?" tanya Dhika mengalihkan topik pembicaraan tentang Ari vs Ditya.

"Udah, Om. Kemarin malam," jawab Hana, santai. Mungkin karena sudah mengenal keluarga ini sejak lama jadi Hana sudah tidak sungkan lagi.

"Tadinya, Om mau mampir ke rumah, tapi takut papa kamunya belum pulang."

"Udah, tadi sebelum berangkat malah nyuruh aku ngajak Ari mampir ke rumah."

"Putra masih kerja sama papa?" tanya Dhika lagi.

Hana mengangguk. "Tadi pagi, malah ada di rumah, kayanya ada kerjaan gitu sama papa. Emang kenapa Om?"

"Gak apa-apa cuma pengin tau aja."

"Putra siapa?" Ari menyahuti, nama itu baru didengarnya.

"Itu lho, Bang. Anaknya Wahyudi, jadi dia magang sama Om Wisnu," sambar Rani sembari mewadahi nasi untuknya, Dhika, Ari dan Hana.

"Wah, bahaya." Ari menoleh pada Hana lalu menggelengkan kepalanya. "Udah berani main ke rumah pagi-pagi."

"Apaan sih?" Hana mendelik tidak suka dilihat seperti itu oleh Ari.

"Hati-hati aja di tikung, Bang. Bapaknya aja jago nikung," timpal Dhika setengah bercanda. "Siap-siapin mental aja lah."

"Kamu ih." Rani menyikut Dhika. "Bukannya disemangatin malah di takut-takutin."

Hana hanya menyimak percakapan itu, dia tidak mengerti. Lalu apa hubungan tikung menikung antara Putra dan ayahnya Putra? Lagi pula dia tidak terlalu dekat dengan laki-laki itu.

i'm yoursWhere stories live. Discover now