I'm yours. 38

5.7K 584 41
                                    


"Parkirnya di sebelah sana aja, Mas. Yang agak teduh." Seorang penjaga parkir berlari ke arah Ari saat melihatnya akan memarkirkan motor sembarangan. "Sebelah sini panas, sekaligus saya terlalu jauh ngawasinya."

"Saya gak akan lama. Jadi bisa titip sebentar di sini?" balas Ari sambil melepas helm, menyimpannya di atas tangki motor. Kemudian, dia meninggalkan kuda besinya itu bersama penjaga parkir begitu saja.

Berbeda dengan saat pergi ke makam Ghania, kali ini Ari tidak membawa apa-apa. Akibat pesan yang dikirm Dhafin, dia sampai malas melakukan apa-apa termasuk mampir untuk membeli bunga.

Matahari sedang terik-teriknya saat Ari berjalan menyusuri tiap gundukan tanah untuk mencari makam Rahma. Tapi kendati begitu, tubuhnya tetap saja terasa dingin dan sedikit menggigil.

Tepat saat jaraknya sudah kurang dari dua meter lagi, Ari melihat Dhafin sedang diam sambil berjongkok di samping pusara Rahma. Dengan langkah yang sedikit pelan, dia lalu menghampirinya. "Maaf lama," ucap Ari sambil ikut berjongkok di depan Dhafin. "Tadi agak macet di persimpangan mau ke sininya."

Dhafin mendongak lalu tersenyum, tanpa mengatakan apa-apa.

Setelah menyapa Rahma dengan ucapan salam dan sentuhan lembut di batu nisannya, Ari pun memilih diam. Menekan sejenak hasratnya untuk mencecar Dhafin dengan bermacam pertanyaan yang sedari tadi bercokol di hatinya.

Setengah jam berlalu. Ari menyelesaikan doanya kemudian membiarkan Dhafin menyiramkan air dan menaburkan bunga.

Mengembuskan napas panjang, Ari lalu menatapi batu nisan Rahma. 'Ma, sebenarnya ada apa ini? Kenapa Dhafin bisa tiba-tiba datang ke sini?' tanyanya dalam hati.

"Bang?"

Ari menolehkan kepala, dilihatnya Dhafin sedang ikut menatapi batu nisan Rahma.

"Apa Bang Ari gak pengin nanya kenapa aku bisa ada di sini? Dan kenapa juga aku bisa tahu siapa orang yang dimakamkan ini" tanya Dhafin dengan nada tenang.

Sejenak, Ari tertegun merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba menggila. Apa yang ditanyakan Dhafin mewakili semua pertanyaan yang ingin ia utarakan. "Tadinya gue emang pengin nanya gitu, tapi gak jadi."

"Kalau Bang Ari berpikir, Hana, Bang Alif, Bang Bilal atau Genta yang ngasih tahu aku. Itu--- salah besar." Tangan kanan Dhafin bergerak menyentuh batu nisan Rahma. Matanya tak dibiarkan melirik pada Ari.

"Lalu, kalau bukan dari mereka, dari siapa? Mama? Papa?" tebak Ari.

Dhafin tersenyum, membuat Ari dilanda rasa penasaran. "Apa selain mereka gak ada orang lain lagi yang Bang Ari pikir paling berpotensi untuk menceritakan tentang siapa orang ini dan apa hubungannya sama Bang Ari?"

Ari menggeleng, sebab selain mereka yang disebutkannya memang tak ada lagi.

Dhafin menghela napas, kemudian menatap Ari. "Bang?"

"Hm?"

"Tante Rahma yang cerita langsung ke aku tentang siapa Bang Ari sebenarnya," ucap Dhafin dengan satu tarikan napas.

Sontak, Ari membeliak. Dari mana Dhafin bisa mengenal ibu kandungnya?

Karena melihat Ari hanya menundukkan kepala tak memberi respon, Dhafin melanjutkan, "Maaf, karena ini pasti sangat terlambat."

Setelah Dhafin mengucapkan itupun, Ari masih tetap tak memberi respon. Otaknya mendadak lambat mencerna setiap kata yang diucapkan Dhafin.

"Hari itu, waktu Bang Ari pulang dari rumah. Aku dikenalkan ibu pada Christian, sepupunya Oscar, ayah tiriku," lanjut Dhafin.

i'm yoursWhere stories live. Discover now