thank you.

3.2K 318 71
                                    


Hana langsung mengembuskan napas lega saat melihat Ari akhirnya pulang. Tidak memedulikan dengan apa yang dibawa suaminya. Dia langsung menjamu Ari dengan teh hangat lalu menyuruhnya membersihkan diri.

"Jalannya beneran macet parah?" tanya dia saat menemani suaminya itu duduk menonton televisi setelah selesai mandi. "Aku sampai kepikiran buat nyuruh Dhafin nyari kamu tadi."

"Parah, soalnya kecelakaannya beruntun. Satu mobil sama tiga motor," jawab Ari sambil mengusap-usap rambut basahnya dengan handuk. "Mau putar balik juga gak mungkin. Di belakang udah macet total. Kalau tahu ada kecelakaan aku juga gak mungkin ambil jalan itu. Niatnya mau buru-buru eh malah tambah lama."

"Tapi yang penting sekarang kamu udah pulang dengan selamat," balas Hana sambil pergi mengambil hairdryer di kamar mandi kemudian cepat-cepat kembali ke ruang keluarga. "Si Dhafin cerewet banget tahu gak pas kamu bilang udah dekat tapi gak nyampe-nyampe ke rumah. Ditambah dengar ada yang kecelakaan," ucapnya di tengah-tengah kegiatan membantu Ari mengeringkan rambutnya.

Ari tersenyum. "Kamu sadar gak sih makin ke sini dia makin overprotektif?"

"Sadar banget. Tapi menurutku masih wajar."

"Iya kalau dibandingin kamu."

Hana langsung mendecih. "Giliran aku cuek kamu galau. Terus giliran aku over kamu ngeluh. Maunya gimana sih?"

"Aku gak ngeluh. Cuma mengutarakan pendapat."

"Alibi."

Ari lantas menolehkan kepalanya menghadap Hana. "Kamu tuh Kenapa sih, aku perhatiin beberapa hari terakhir ini kayaknya gampang banget sewot? Kurang jalan-jalan ya? Apa kurang uang  jajan?" ujarnya sambil tersenyum jahil.

Hana mematikan hairdryer lalu menaruhnya ke meja dengan sedikit kasar. "Kenapa sih cowok tuh kalau tahu mood cewek lagi gak baik mikirnya pasti langsung ke situ. Sempit banget."

"Kenapa juga cewek gak pernah mau terbuka aja. Biar si cowok gak bertanya-tanya dan selalu ada di posisi yang salah. Kan gak semua cowok itu punya kemampuan kayak Mbah Mijan, Yang."

Hana tersenyum, padahal sebenarya dia sudah berusaha menahannya. "Dih pede banget. Kayak kamu tahu aja Mbah Mijan aslinya kayak apa. Belum tentu juga dia ngerti maunya cewek kayak apa."

"Nah itu dia. Mbah Mijan yang katanya bisa menerawang masa depan aja masih ada kemungkinan gak bisa ngerti apa maunya cewek. Apalagi aku yang gak bisa menerawang apa-apa."

"Yakin gak bisa menerawang apa-apa?"

Pandangan Ari turun dari wajah Hana pada piyama yang dikenakan perempuan itu. "Bisa."

Hana menyeringai. "Gak usah ngadi-ngadi."

"Ibadah." Satu tangan Ari melingkari pinggang Hana. Dengan sedikit tarikan saja perempuan itu langsung melebur dipelukannya.

Hana tidak bisa menolak, tentu saja. Sentuhan lembut yang diberikan Ari adalah kelemahannya. "Ai?" panggil Hana sesaat sebelum bibir lembab milik Ari mengenai bibirnya.

"Hm?"

Hana tahu Ari sepertinya kecewa. Jarak wajah mereka yang kelewat dekat membuatnya bisa merasakan embusan napas  kasar lelaki itu. "Kamu inget jadwal menstruasi aku gak sih?" tanyanya.

Mata Ari yang sebelumnya terpejam langsung terbuka. "Gak inget persis tanggalnya, tapi tiap pertengahan bulan kan?Antara minggu kedua sampai ketiga. Bener gak?"

Melihat Ari berusaha mengingat-ingat itu, Hana merasa moodnya langsung membaik. Walau jawaban Ari tidak seperti yang diharapkan, tapi Hana merasa itu sudah cukup. Karena itu artinya Ari memang perhatian.  "Iya. Biasanya aku menstruasi itu sekitar tanggal 16 sampai 23."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 09, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

i'm yoursWhere stories live. Discover now