i'm yours 41.

6.3K 589 69
                                    

"Jadi gini, Fin." Ari duduk bersila di tengah kasurnya sementara Dhafin tengkurap sambil memperhatikan. "Berhubung nyokap sama bokap lu masih di Amerika, jadi gak ada salahnya kan kalau kita minta bantuan ke mereka?"

Malam ini, sepulang dari bengkel Ari sengaja meminta Dhafin datang ke rumah. Membahas secara langsung perihal makam Chris, papa kandungnya yang sebelumnya sudah Ari bicarakan via chat.

"Nah iya, gitu aja," seru Alif yang juga kebetulan berada di sana. Numpang bermain PS bersama Bilal. "Peluang mendapat izin juga pasti lebih besar, mengingat bokap lu masih ada ikatan keluarga."

Ari mengiakan. "Setelah masalah izin kelar, insha Allah gue langsung berangkat ke sana sendiri."

"Sama gue juga ayok." Bilal menyahuti. "Jaga-jaga kalau di sana kaga ada ustadz jadi lu gak perlu repot-repot."

Ari langsung memberi Bilal tatapan tajam. "Wah parah. Kalau ngajak lu, bisa-bisa gue ditangkap polisi bandara dengan tuduhan membawa kabur badak Sumatera."

Kekehan Alif langsung menyambut, sementara Bilal sendiri hanya manggut-manggut sambil tersenyum, malas.

"Cengar-cengir, senyam-senyum, ngomong kek, Fin. Biar gue tahu lu setuju apa nggak sama ide gue ini." Ari berdecak keras ketika menoleh pada Dhafin dan mendapati laki-laki itu sedang tersenyum.

"Aku setuju kok, Bang," sahut Dhafin santai. "Setuju banget malah. Tapi ya aku gak bisa menjanjikan proses minta izinnya itu akan cepat selesai. Apalagi sekarang orangtua Om Chris tinggalnya kan gak di New York lagi."

Ari mengusap wajah lalu menyisir rambut basahnya ke belakang dengan jari. "Untuk urusan itu, Eyang mau bantu bicara ke mereka. Jadi tugas orangtua lu hanya meyakinkan dan ngurus berkas perizinan buat membongkar makamnya aja."

"Bongkar doang? Gak dipindah?" Dhafin agak terperangah.

Ari menggeleng. "Mau gue emang dipindah, tapi terlalu riskan. Dan kata Abahnya si Bilal, boleh aja dilakukan selama alasan tidak dipindah itu karena banyak mudharatnya. Salah satunya khawatir jasadnya akan rusak."

"Kalau gitu gak usah dibongkar aja sekalian. Aku pernah denger seseorang mengatakan kalau yang menyucikan mayit itu bukanlah tanah di mana ia dikubur, melainkan amal kebaikannya selama hidup."

"Itu gak salah " Ari tersenyum. "Tapi sebaiknya orang yang sudah bersyahadat dan memilih Islam sebagai agamanya, saat dia meninggal, dimakamkan menurut tata cara Islam juga. Berhubung di kasus ini karena sudah terlanjur dan akan beresiko jika dipindah, jadi gue berkeinginan untuk menyempurnakannya saja. Mengganti jas dan pakaiannya dengan kain kafan lalu menyolatkannya."

"Ya, anggap aja itu sebagai bakti dari seorang anak untuk ayahnya." Bilal yang duduk tepat di bawah ranjang langsung mengacungkan ibu jari. "Prosesnya emang agak rumit. Tapi kalau kita mau ikhtiar, pasti terwujud kok."

Dhafin mengangguk paham.

"Tinggal ada izin dari orangtuanya papa, terus tiket pesawat ke sana, maka semuanya selesai." Ari mengembuskan napas, lega.

"Nah dari kasus ini lu bisa ambil pelajaran, Fin." Alif menaruh stik PS nya sambil menengok ke arah Ari. "Sebisa mungkin, kalau punya keluarga tuh yang tinggalnya deket-deket aja, yang gak butuh pasport dan tiket pesawat kalau mau ketemu."

Hening, tak ada yang merespon.

"Gitu." Alif tersenyum lebar hingga menampakkan gigi gusinya.

"Bego, bego." Ari bergumam sambil meraih bantal di sampingnya lalu di lempar tepat ke wajah Alif. "Emang mending punya keluarga yang tinggalnya deketan daripada punya temen yang tinggalnya deketan. Ngerugiin! Kalau gak numpang molor, numpang makan, kalau gak numpang makan numpang ngerusuh . Dan lebih parahnya kalau datang bisanya cuma ngeledekin pribumi aja."

i'm yoursWhere stories live. Discover now