I'm Yours 22.

7.4K 594 47
                                    

Tiga jam menjelang operasi, Ari diminta membersihkan tubuh menggunakan sabun antiseptic yang diberikan oleh Mutia dengan tujuan supaya tubuhnya steril.

"Mau dibantuin perawat, atau mandi sendiri?" Mutia memberikan bungkusan sabun khusus itu pada Ari.

"Sendiri aja," jawab Ari, mantap.

"Kuat?"

"Ya Allah, mandi doang, Tan."

"100% bersih ya. Gak pake air dingin!" pesan Mutia.

"Gak pake apalagi? Saus? Kecap?"

Mutia mendengus. "Terserah."

Ari tersenyum sebelum melangkah pelan menuju kamar mandi dengan handuk tersampir di lehernya.

Setelah dari pagi melalui bermacam prosedur yang diminta dokter mulai dari tes darah, rekam jantung dan bermacam tek-tek bengek yang biasa dilakukan pra operasi.  Kata Mutia, mandi ini adalah prosedur terakhir dan setelah ini Ari bisa sedikit bersantai.

Hanya sedikit, karena banyaknya ia merasa takut. Takut operasinya gagal lah, takut tidak bangun lagi lah, takut ada komplikasi lah dan sebagainya. Ketakutan yang kata dokter sebetulnya wajar dan kerap dirasakan oleh setiap pasien yang akan menjalani operasi.

"Tan." Ari melongokan kepala dari dalam kamar mandi.

"Apalagi?"

"CD aku, tolong," pintanya. Kemudian tersenyum manis saat Mutia memberikan benda itu padanya.

Kurang dari sepuluh menit, Ari selesai. Sudah mengenakan pakaian khusus pasien saat ia keluar dari sana.

"Abis ini aku gak harus ngapa-ngapain lagi 'kan?" tanyanya saat sudah duduk di ranjang, sementara Mutia memeriksa infusnya.

"Gak ada. Kamu cuma perlu rilax jangan mikirin yang gak penting. Pokoknya jangan tegang. Ok?"

Ari mengangguk saja sambil memperhatikan Mutia yang sekarang memeriksa tekanan darahnya.

"Ok," ucap Mutia lalu menempelkan stetoskop di dada kemudian punggung Ari. Ia juga meminta laki-laki itu supaya menarik napas dan batuk kecil. "Ok." Mutia menganggukan kepala, pertanda ia tidak menemukan hal janggal lain dari pemeriksaannya tersebut.

"Keep calm  Ghifari! Kami pasti akan melakukan yang terbaik dan kamu juga harus gitu. Kita kerjasama untuk hasil maskimal." Mutia mengepalkan tangan, memberi semangat pada keponakan suaminya itu.

"Kenapa harus selalu kalimat itu sih yang diomongin? Gak ada kalimat lain apa? Kaya misalnya; semangat Ri, kalau operasi kamu sukses, tante mau kasih kamu tiket pesawat dan hotel buat keliling dunia." Ari tersenyum lebar.

"Maunya! Minta aja sama Om kamu." Mutia menjentik kening Ari. "Sembuh aja dulu, baru minta yang gituan."

"Biar semangat sembuhnya."

"Niat banget sih, bikin Tante bangkrut." Mutia merengut lalu duduk di samping Ari setelah membereskan alat kerjanya. "Mama kamu belum balik lagi?"

"Makan dulu kayanya sama eyang di bawah."

"Mereka gak nginep?"

"Penginnya aku sih mereka nginep di rumah, tapi gimana? Di rumah ada oma, aku gak mau nantinya dia sama uti adu jotos."

"Dasar! Eh, ngomong-ngomong Hana balik dulu ke rumah, terus gak balik lagi gitu?"

"Gak tau, ngomongnya sih mau balik lagi, minta izin sama Amih."

"Oh." Mutia mengangguk paham. "Dia patuh banget  gitu ya sama neneknya?"

"Iya. Dibanding sama ibunya, dia lebih nurut sama neneknya. Mungkin karena dari kecil kalau orangtuanya kerja, dia diurus sama neneknya, ditambah orangtuanya cerai, jadi makin lengket lah dia sama Amih. Dimanja banget dia sama Amih."

i'm yoursWhere stories live. Discover now