i'm yours 43

6.1K 602 59
                                    

"Ada siapa, Kang?" tanya Ari pada Yana begitu turun dari mobil. Melihat adanya mobil lain di pekarangan rumah juga gerbang yang terbuka hampir sepenuhnya selarut ini membuatnya heran sekaligus agak takut. Ingatan ketika Ghania meninggal masih berbekas di hatinya.

"Ada Pak Bima, Bang." Sopir pribadi Dhika itu menyahuti.

"Ada yang sakit?" tanya Ari lagi. Sebab jika bukan karena alasan itu, Bima - dokter sekaligus kerabatnya itu memang jarang berkunjung ke rumah.

"Tadi sepulang dari bengkel, Bapak agak meriang, jadinya Ibu nelepon Pak Bima."

"Pas aku pulang dari bengkel tadi kayaknya masih baik-baik aja," gumam Ari sambil menyerahkan kunci mobilnya pada Yana. Meminta secara tidak langsung pada laki-laki itu agar memasukkan mobilnya ke garasi.

Setelah mendapat anggukan kepala dari Yana, Ari langsung bergegas melepas sepatu kemudian masuk ke dalam rumah. Menuju kamar orangtuanya.

"Ini karena kelelahan dan stress aja sih, Mbak."

Sesampainya di depan kamar, dari celah pintu yang terbuka Ari melihat Rani dan Bima sedang mengobrol. Sementara itu Dhika sedang berbaring menyamping bergulung selimut.

"Untuk beberapa hari istirahat aja dulu di rumah, sekalian refreshing," lanjut Bima, "lagian sekarang kan udah ada Ari yang bisa bantu di bengkel."

"Ari emang ada, tapi dia juga baru sembuh, Bim. Kalau langsung diforsir takutnya malah drop lagi." Rani menyahuti. "Beberapakali dioperasi, bikin Mbak sama Mas Dhika jadi parno."

Bima mengangguk seraya tersenyum. "Pasti."

Mendengar percakapan kedua orang itu, seketika membuat Ari sadar. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya di rumah ini ternyata dia belum bisa memberikan manfaat apapun bagi kedua orangtuanya. Selama ini yang dia lakukan hanya merepotkan dan merepotkan saja.

Ari menghela napas. Mengumpulkan keberanian, kemudian memegang gagang pintu saat dari kamar tak lagi terdengar suara obrolan lagi. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Rani dan Bima bersamaan sambil melihat ke arahnya.

Menutup pintu terlebih dahulu, kemudian Ari mendekat ke ranjang. Menyalami Rani dan Bima.

"Berhubung Ari udah pulang, jadi aku pamit pulang ya, Mbak." Bima berdiri dari duduknya sembari menjinjing tas berisi perlengkapan medisnya. "Kalau misalnya besok Mas Dhika masih belum membaik mending ke rumah sakit aja."

Rani mengiakan, lantas menoleh pada Ari. "Bang, Mama anterin Om Bima dulu, ya?"

"Iya, Ma."

Lalu Rani dan Bima pun keluar dari kamar. Sesaat setelah mereka pergi, kamar mendadak hening. Televisi yang menyala pun hanya menampilkan gambar tanpa suara. Ari lalu duduk di samping Dhika yang sedang berbaring. Menyingkap selimutnya kemudian memijati kaki laki-laki itu pelan.

Sama seperti saat Dhika sering memijati kakinya dulu.

"Bang?" Baru juga beberapa detik Ari memijati kakinya, Dhika terbangun. "Baru pulang?"

Ari mengangguk, menyalami tangan Dhika. "Anterin Hana pulang dulu, jadi agak telat. Maaf."

"Kenapa harus minta maaf." Dhika tersenyum. "Udah lumrah anak muda pulang jam segini."

"Aku gak biasa pulang pagi-pagi buta kayak gini," jawab Ari, apa adanya. "Dan juga aku gak tahu kalau Papa sakit."

"Cuma masuk angin," ujar Dhika, tersenyum. "Terus udah tahu pulang telat, kenapa masih di sini? Istirahat sana."

"Papa yang sakit kenapa malah aku yang disuruh istirahat?" Ari menunduk, tangannya tak berhenti memijati Dhika.

"Kata Om Bima, Papa cuma butuh istirahat sebentar. Abis itu pasti sehat lagi," jawab Dhika, "beda sama kamu yang emang masih butuh banyak istirahat."

i'm yoursWo Geschichten leben. Entdecke jetzt