9.

7.9K 620 68
                                    

"Serius deh, Han. Muka lo itu bener-bener minta gue gosok pake setrikaan uap yang diiklanin sama orang korea itu. Kusut banget!"

Mendengar gerutuan Resi tersebut, Hana hanya mendesah lalu menjatuhkan kepalanya ke atas meja sambil menunggu pesanan pizza mereka datang. "Res?" panggilnya.

"Apaan?" Resi mendelik.

"Waktu lo masih  awal-awal masa pacaran sama si Zaenal."

"Si Jay," ralat Resi. "Calon suami gue," ucapnya lagi sambil tersenyum jahil. "Kenapa?"

"Iya sama dia, pas awal-awal banget itu reaksi keluarga lo gimana sih?" Hana tidak melanjutkan ucapannya saat melihat orang yang tengah duduk di depannya itu tersenyum penuh arti kepadanya.

"Kenapa?" tanya Resi, curiga. "Hubungan lo sama si Ari ditentang keluarga?"

"Kurang ajar!" Bibir Hana mencebik kemudian ia mendecih. "Gak juga. Kayanya lo udah tau deh gimana respon ortu gue ke si Ari, mereka baik-baik aja bahkan  mereka ngasih support ke gue. Tapi--"

"Apa?" Resi bertanya langsung ketika dia merasa kalau Hana mulai tampak kesulitan merangkai kata-kata untuk mendeskripsikan masalah yang tengah dihadapinya. "Atau ada masalah lain? Atau jangan-jangan ada orang ketiga?" Resi membekap mulutnya sendiri.

Hana memutar bola mata, malas lalu mendesah keras. Prihatin karena otak Resi selalu saja tertuju pada hal itu. "Restu dari keluarga, selain dari orangtua penting gak sih menurut lo?"

Resi mengangguk mantap. "Yang lebih utama memang restu dari ortu lo dulu, lalu anggota keluarga lainnya terus teman-teman dekat lo. Secinta apapun lo sama orang pilihan lo itu. Lo tetep harus mau denger nasihat dan masukan dari orang lain, kaya anggota keluarga lo dan teman-teman dekat lo. Apalagi dari mereka yang udah berpengalaman. Karena dari yang gue rasain sih, saat gue cinta sama seseorang, gue gak bisa liat sisi negatifnya. Jadi, gue butuh orang lain untuk mengukur sejauh mana orang itu pantas buat gue. Walau pada akhirnya keputusan ada di tangan kita, terus kita juga yang ngejalanin dan kita juga yang ngerasain."

Alis Hana bertaut mendengar ucapan panjang dari Resi, tumben sekali perempuan di depannya itu berkata panjang dan bermakna. Dan yang lebih penting langsung to the poin dan membekas di hati.

"Emang kenapa sih, Han? Ada yang gak setuju sama hubungan kalian?"

Hana tidak langsung menjawab memilih membiarkan pelayan menyajikan pizza yang mereka pesan terlebih dahulu. Barulah setelah pelayan itu pergi, ia mengambil ponselnya lalu membiarkan pesan yang dikirim Amih tadi pagi dilihat oleh Resi.

"Amih rada gak suka ngeliat gue serius sama si Ari," ucap Hana. "Bukan karena hubungannya itu sih, tapi lebih ke personalnya. Jadi menurut Amih, si Ari itu belum memenuhi standar. Kaya misalnya, si Ari belum mandiri, belum punya kerjaan tetap, belum mapan dan bla-bla-bla."

Resi tergelak. "Tuh 'kan, kata gue juga apa. Masalahnya orang ketiga."

"Itu Amih, bukan orang ketiga," sahut Hana seraya melahap potongan pizza.

"Sama aja kali, Amih juga orang. Intinya, mau itu nenek lo, kakek lo, tante, om dan lain-lain yang berbentuk orang dan ngeganggu hubungan lo, berarti itu orang ketiga."

Tidak menggubris, Hana malah menikmati makanannya.

"Pikiran orang tua banget, ya? Mikirnya langsung ke masalah finansial. Padahal di balik itu semua ada yang jauh lebih penting, yaitu kenyamanan." Resi membaca ulang pesan tersebut sembelum mengembalikan kepada pemiliknya. "Tapi ya, Amih juga gak mungkin asal ngomong gitu kalau dia gak punya alasan."

Hana menggigit bibir bawahnya. Resi benar juga, segala sesuatu yang dilakukan ataupun diucapkan pasti memerlukan sebuah alasan. Entah itu alasan yang bisa diterima ataupun tidak, yang pasti semuanya butuh alasan. "Gue takut si Ari jadi benci sama gue gara-gara masalah ini. Kemudian kita selesai."

i'm yoursWhere stories live. Discover now