I'm yours 36

5.8K 592 58
                                    


Tanpa terasa sudah hampir dua jam Ari mengobrol dengan Hana. Dan selama itu juga Amih tak kunjung keluar dari kamarnya.

Tidak tahu penyebabnya apa? Tapi Ari harap bukan karenanya.

"Udah hampir maghrib." Melihat jam tangannya sekilas, Ari kemudian menoleh ke samping, di mana Hana sedang duduk sambil merapikan rambut. "Balik sekarang, ya?" tanyanya.

"Tanggung Ai," jawab Hana sambil menyanggul rambutnya ke atas. "Salat dulu aja di sini, biar kamu nyetirnya juga tenang gak kayak lagi dikejar-kejar begal."

Ari langsung diam.

"Iya nggak?"

Masih tak menjawab. Fokus Ari teralih sepenuhnya ke arah leher lembut Hana yang jarang terlihat karena tertutup rambut.

"Kenapa?" Hana menoleh ke samping, menatap heran laki-laki itu. "Ada yang aneh?" lanjutnya seraya mengangkat kedua alis sambil memegangi tengkuk lehernya hingga membuat rambut-rambut yang tak terikat di area tersebut bergerak halus.

Tanpa sadar Ari menahan napas.

"RI?" Hana masih menatap heran, namun kali ini sambil menepuk pipi Ari. "Kenapa?"

Tersadar, laki-laki itu langsung berdeham kemudian mengalihkan pandangannya ke arah meja tempat cangkir tehnya disimpan. "Gak apa-apa," jawabnya agak canggung.

"Beneran?" tanya Hana tidak percaya. "Kok langsung salting gitu?"

Seketika hawa panas dari leher langsung merambat ke wajah Ari, panas bukan main apalagi di area pipi. "Gak --- gak apa-apa, cuma haus aja," jawabnya asal seraya menunjuk cangkir kosong di depannya.

Bibir Hana membulat dan sejurus kemudian melengkungkan senyum. "Eh iya, aku kan tadi mau bikinin kamu minum," ucapnya sambil bangkit mengambil cangkir teh yang sudah kosong itu. "Maaf-maaf lupa."

"Gak apa-apa. Namanya juga manusia, tempatnya khilaf dan dosa." Ari pikir setelah Hana mendengar itu, Hana akan segera pergi ke dapur tapi ternyata tidak. Gadis itu malah tetap berdiri dan menatapnya.

"Tapi, Ai."

"Apalagi?" tanya Ari.

"Aku mau bikinin kamu minum lagi, asal." Hana menggantung kalimatnya, seolah sedang memancing supaya Ari kembali bertanya.

Melihat itu, mendadak Ari ingin berdecak keras. Namun saat teringat kalau posisinya di sini hanyalah seorang tamu, Ari pun memilih membuang keinginannya itu jauh-jauh. "Asal apa?"

"Asal kamu pulangnya abis maghrib. Supaya kamu juga tenang nyetirnya karena udah salat." Hana tersenyum manis, terkesan dibuat-buat tapi anehnya selalu membuat Ari suka.

Kali ini Ari benar-benar berdecak keras. "Ya Allah ngasih minum aja pake syarat."

"Iyalah. Eung ... atau kamu anggap aja itu sebagai bayaran."

Dengan agak terpaksa, Ari mengangguk. Selain karena tidak ingin mendebat masalah itu, dorongan dari kerongkongannya yang minta dibasahi juga sangatlah kuat.

Senyum Hana langsung mengembang. Dia buru-buru membalikkan badan kemudian berjalan cepat ke arah dapur.

Dasar cewek!

Tapi ada benarnya juga sih, lebih baik Ari salat dulu di sini ketimbang harus kebut-kebutan lantaran mengejar waktu.

Sambil memunggu Hana selesai membuatkan minum, Ari bersandar pada punggung sofa. Bibirnya reflek melengkungkan senyum kala ingatannya dibawa kembali pada obrolannya dengan Hana tadi.

Bagi Ari, mengobrol dengan Hana adalah hal yang paling menyenangkan dan tidak pernah membuatnya cepat bosan. Sebab topik apapun yang dibahas pasti akan saling berkaitan.

i'm yoursWhere stories live. Discover now