i'm yours 19

7.1K 581 87
                                    


Awalnya hanya samar-samar tapi lama kelamaan suara Bilal semakin terdengar jelas di telinganya. Meski kesusahan Ari menggerakan jari-jari kakinya. Mencoba melepaskan diri dari kukungan mimpi anehnya. "Astaghfirullahalazim," ucapnya, nyaris tak bersuara dalam keadaan mata yang masih tertutup, rapat.

"Ri. Istighfar ...." Sambil menyentuh pundak orang yang dipanggilnya. Bilal terus menerus meminta untuk beristighfar. "Lu cuma mimpi," ucapnya. Menenangkan.

"Astaghfirullahalazim." Ari melenguh. Suaranya menyerupai bisikan. Tangannya yang terpasang infus itu diangkat kemudian memijat pelipisnya yang terasa panas.

"Dia gak apa-apa, Bil? Apa perlu gue panggilin dokternya? Apa gue hubungin Tante Rani aja supaya dia bal----"

"Sssttt." Bilal menempelkan jari telunjuk di bibir kemudian menggelengkan kepala. Meminta supaya Genta diam melalui isyarat tersebut.

"Tapi, dia manggil ma, ma, terus," ucap Genta, tidak mau kalah.

Bilal mengibaskan tangan. "Bukan," ucapnya tanpa suara. "Bu-kan Tan-te Ra-ni."

Kening Genta mengerut, bingung. Tapi tidak sampai dua detik, raut kebingungan itu berubah. Kepalanya mengangguk samar lalu tangannya merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel dari sana. Dia harus segera menghubungi seseorang yang berkaitan dengan kondisi sepupunya ini. "Gue keluar bentar ya?"

Bilal menoleh sejenak, lalu mengangguk. Sebelum akhirnya kembali menatap wajah pucat Ari. "Ri, lu denger gua gak sih?"

Ari mengangguk. Suara Bilal jelas terdengar, hanya saja matanya terasa lebih berat untuk dibuka. Dia juga masih mencoba untuk meyakinkan diri kalau kehadiran Rahma, ibu kandungnya tadi hanyalah sekadar mimpi. Sehingga saat membuka mata, dia tidak akan terlalu merasakan kehilangan karena tidak menemukan sosok itu di sampingnya.

"Ri," panggil Bilal, lagi. Masih terus berusaha membuat sahabatnya itu bangun dan membuka mata.

Ari menurut. Kelopak matanya terbuka menampakan bola mata yang tampak basah dan memerah. Ari lantas menoleh, melihat laki-laki yang berdiri di samping kirinya sedang menatap penuh tanya padanya. "Haus," ujarnya dengan suara parau dan serak luar biasa.

Bilal buru-buru menuangkan air dari dalam teko yang berada di atas nakas ke dalam sebuah gelas. Tidak lupa ia juga menambahkan satu batang sedotan agar memudahkan Ari untuk meminumnya. "Nih," ucapnya seraya mendekatkan ujung sedotan tersebut ke mulut Ari.

Pelan-pelan, Ari menyesap air tersebut hingga tersisa setengah, sebelum ia mendorong gelasnya pelan dan meminta Bilal untuk menyimpannya kembali. "Udah lama di sini?" tanya Ari sambil meringis. Merasakan sekujur tubuhnya yang terasa ngilu dan kerongkongannya yang terasa kering meskipun sudah dibasuh oleh air minum.

"Lumayan. Kayanya ada setengah jam." Bilal menarik kursi di belakangnya kemudian duduk di sana.

"Cewek lu gak diajak?" tanya Ari.

"Nggak. Dia lagi pergi sama temen-temennya. Oh iya, si Alif, katanya nanti aja agak sorean ke sininya."

"Gak apa-apa. Dia emang sekalian gua suruh mampir dulu ke rumah buat bawain al-quran terus bareng ke sini sama nyokap."

"Kenapa lu gak nyuruh si Hana aja?" goda Bilal lengkap dengan senyuman jahilnya.

Ari mendengus. "Dia bukan jongos, buat disuruh-suruh. Lagian jam segini pasti dia lagi sibuk. Gua gak mau ganggu."

"Berarti kalau gua, lu anggap jongos?" Bilal melotot. "Di saat lu tau kalau gua juga lagi sibuk. Bahkan lebih sibuk dari si Hana."

"Emang lu sibuk apaan sih, Dut?" tanya Ari sambil berusaha untuk bangun. Tapi gagal. Tubuhnya terlalu lemas untuk digerakan. Dia pun meringis. Gurat-gurat kesakitan itu tampak di keningnya.

i'm yoursHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin