i'm yours 40.

6.5K 588 72
                                    


Jam dua belas siang, Ari dikejutkan oleh pesan dari nomor yang tidak dikenalnya. Saat pesan itu datang, dia baru saja selesai merekap laporan penjualan sparepart yang akan diserahkan pada Dhika nanti sore.

Ari?
Ini Amih. Maaf ganggu.
Kata Hana hari ini km udh mulai krj lg.
Kalau ada waktu luang.
Apa kita bisa ketemu?

Ini Amih? Serius lo? Sejenak Ari tertegun memandangi layar ponselnya tidak percaya. Kemudian, dia membuang napas kuat-kuat sambil menggaruk filtrumnya. Sementara matanya menatap lurus pada keypad ponsel.

Iya, ini Ari.

Sampai lima menit berselang tidak ada balasan dari Amih. Ari mulai berspekulasi bahwa Amih marah atau bisa jadi kecewa karena tidak puas dengan pesan balasannya.

Bukan berniat untuk menghindar, balas dendam apalagi. Ari hanya masih dilanda rasa bingung bagaimana menyikapinya. Dia yakin setiap orang pasti pernah merasa seperti ini. Ketika mendapati orang yang tadinya tidak begitu akrab bahkan terkesan tidak suka tiba-tiba berubah sebaliknya.

"Bang, makan siang."

Kepala Ari menengadah, beralih dari layar ponsel ke arah Dhika yang sedang bersandar di ambang pintu sambil bersedekap. Tersenyum padanya.

"Khusyuk banget mentang-mentang abis liburan panjang."

Melihat sebentar pada jam dinding, Ari lalu berdiri menghampiri Dhika. "Mau makan di mana?"

"Gak jauh dari sini ada warung gudeg, gudegnya enak banget. Kita makan di sana aja." Dhika merangkul bahu Ari. Berjalan beriringan. "Tapi kalau kamu mau makan yang lain sih terserah, biar Papa sama Kang Yana aja yang ke sana. Atau mau pulang dulu ke rumah juga terserah."

Ari tak lantas menyahuti. Perhatiannya tersita sejenak pada pesan dari Hana.

Hana Sastra:

Amih ngajak makan siang.
Aku sama kamu.
Gimana?
Km mau ikut?

"Pa?"

"Hm?" Dhika menoleh, melepas rangkulannya lalu menekan tombol lift.

"Aku kayaknya mau makan siang sama Hana aja," ucap Ari sambil mengetikkan pesan balasan untuk Hana. "Gak apa-apa kan?"

"Ya udah, terserah." Pintu lift terbuka lalu Dhika masuk. Sementara Ari kembali ke ruangannya mengambil jaket dan helm.

Dengan motor bebek pinjaman dari satpam bengkel, Ari sampai di butik untuk menjemput Hana. Beruntung karena butiknya sedang agak sepi jadi mereka bisa langsung berangkat.

"Bawa motornya biasa aja ya! Gak usah pake acara cornering miring-miring gak jelas itu." Baru juga duduk di boncengan, Hana langsung mengultimatum Ari.

"Tapi aku seneng denger kamu jejeritan. Gimana dong?" balas Ari, tersenyum.

"Kalau gitu buat aku jejeritan dengan cara yang lain." Lengan Hana melingkar erat di pinggang Ari saat laki-laki itu mulai melajukan motornya.

Ari tergelak. "Ya udah, nanti aku kasih suprise kecoak sama jangkrik aja."

Hana menaruh dagunya di pundak Ari. Berhubung yang dipakainya adalah helm half face, jadi dia lebih leluasa bergerak. "Udah bosen hidup, Bang?"

"Iya," sahut Ari, "aku emang udah bosen hidup. Hidup sendiri."

Hana tertawa kecil. "Jawaban macam apa itu?"

Ari tak menjawab dan malah tergelitik untuk menanyakan hal lain. "Malu gak di bonceng pake motor bebek jadul gini?"

Kepala Hana menggeleng. "Ini malah lebih nyaman. Naiknya gak ribet terus meluknya juga enak. Asal yang boncengnya itu kamu, motor apapun itu aku gak masalah."

i'm yoursWhere stories live. Discover now