32.

6.7K 600 45
                                    


Setiap keluarga memiliki ceritanya masing-masing, begitu juga dengan keluarga Hana.

Saat dia duduk di kelas X, semester akhir, orangtuanya bercerai. Beberapa tahun berselang, saat dia sudah duduk di kelas XII semester akhir, ibunya menikah lagi.

Tidak ada yang spesial sebetulnya dari cerita itu, orangtua menikah lagi setelah bercerai adalah hal lumrah. Namun satu hal yang membuat Hana merasa jika kisah tentang keluarganya spesial adalah; Ibunya menikah lagi dengan cinta pertamanya saat SMA yang ternyata adalah ayah dari teman sekelasnya; Dhafin Ibrahim, lelaki bermata sipit yang sekarang sedang duduk di hadapannya.

"Dari bandara langsung ke sini? Ngikutin Gojek anterin pesanan gue?" tanya Hana kemudian menyuapkan kwetiaw pesanannya yang dibawa Dhafin tadi.

"Nggak dari bandara kok, aku dari rumah Ayah, emang Mama gak cerita kalau aku balik malam kemarin?" Dhafin balik bertanya, bola matanya bergulir memperhatikan foto yang terpajang di dinding ruang keluarga. Sebagian banyak foto-foto itu didominasi oleh foto Hana, dari kecil hingga dewasa.

Hana mengunyah cepat. "Gue gak denger, eh apa gue lupa, ya?"

Dhafin memutar bola mata. Beralih dari foto-foto di dinding ke wajah Hana. "Makanya kalau orangtua ngomong tuh dengerin baik-baik! Aku balik kemarin sore, tapi berhubung masih jetlag jadi gak langsung ke mana-mana."

"Dari Singapore ke sini doang lu Jetlag?" Alis Hana bertaut. Membuat laki-laki di depannya itu langsung melotot lucu.

"Emang gak boleh?"

"Boleh kok boleh, apa sih yang gak boleh, apalagi buat lo." Hana manggut-manggut mengiyakan seraya menyuapkan kwetiawnya lagi.

"Tadi niatnya aku mau jemput Mama ke butik, tapi tiba-tiba keinget kalau aku tuh punya kupon makan kwetiau gratis seumur hidup dari si Soni, makanya aku mampir ke sana. Pas mau balik ke butik, aku iseng ikutin abang Gojek, eh ternyata malah sampai sini."

Mata Hana mendelik. Gadis itu menyeringai setelahnya. "Eh Dodol! Lo itu lagi cerita sama orang dewasa bukan sama anak TK yang belom ngerti apa-apa."

Dhafin menggaruk keningnya sambil meringis. "Abang Gojeknya, si Erick. Pas kamu pesan tadi, dia lagi makan kwetiaw sama aku."

Mata Hana kini membeliak, dia menaruh piringnya ke atas meja, cepat-cepat mengambil ponselnya hanya untuk memastikan jika yang dibicarakan Dhafin itu benar. "Eh, eh, si Erick kenapa jadi driver gojek gini?" serunya, heboh bukan main. "Dan mukanya kenapa jadi jauh beda dari pas sekolah dulu. Si Erick oplas?"

Dhafin mendesah keras. "Di mana-mana tujuan orang oplas tuh supaya cakep, bukan ---"

"Lo mau bilang si Erick jadi jelek?" Jari telunjuk Hana mengarah lurus ke wajah Dhafin.

Dhafin menepis telunjuk Hana, meralat ucapannya. "Bukannya gitu, maksudku --- si Erick tetep gitu kok kalau diperhatiin bener-bener,"

Hana tergelak mendengar Dhafin berbelit-belit sambil menatap layar ponselnya lagi. "Tapi bener-bener ya. Padahal cuma empat tahun aja kita gak ketemu tapi perubahannya langsung signifikan gitu. Kecuali cowok gue yang gak berubah-ubah, cutenya awet."

Dhafin mendecih, jijik.

"Tapi beneran lho, Fin, dia gak banyak berubah, kecuali kadar gantengnya yang nambah." Hana menaruh ponselnya ke atas meja sambil tertawa. Dia tahu betul kalau Dhafin paling tidak suka jika dia sudah memuji Ari seperti itu. Hening sebentar, Hana kemudian menatap Dhafin. Memperhatikan penampilan saudara tirinya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Padahal kurang dari empat tahun kita gak ketemu tapi lo udah berubah banyak."

"Apanya?" Dhafin ikut memperhatikan penampilannya sendiri.

"Semuanya. Badan lo, wajah lo." Mata Hana berhenti di saku celana Dhafin. Melihat dompet Dhafin yang tampak menggelembung. "Terutama isi dompet lo," ucapnya, tersenyum. "Semakin tebel setelah kerja sampingan jadi pelatih basket anak-anak TK di sana."

i'm yoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang