31.

7.2K 590 33
                                    

Karena melihat pintu kamar Wisnu yang terbuka, Hana pun mengurungkan niat untuk langsung masuk ke kamarnya sendiri. "Pa," panggilnya sambil mendorong pintu agar terbuka lebih lebar hingga menampakan isi kamar sepenuhnya. "Ngerem di kamar aja!" gerutunya, lalu masuk dan menyalami Wisnu yang sedang membereskan tumpukan map di atas meja kerjanya.

"Ngerem di kamar gimana sih, Han? Ini Papa juga baru nyampe, beresin dulu berkas klien yang baru biar gak ketuker sama yang lama," balas Wisnu, terkekeh. "Kamu juga tumben jam segini udah balik ke rumah. Biasanya kalau belum jam sebelas malam kamu belum mau keluar kandang."

Hana mendengus seraya mendudukan tubuhnya di atas ranjang sang ayah. "Kandang itu tempat aku menghasillan duit lho, Pa. Kalau Papa lupa."

"Sekaligus tempat kamu bergalau ria," sambung Wisnu dengan senyum yang tak kunjung luntur dari bibirnya. "Eh, tapi sekarang 'kan galaunya kamu itu harusnya udah sembuh."

"Apaan sih?"

"Yaiyalah, wong yang sering bikin kamu galaunya juga sekarang udah balik." Wisnu semakin gencar menggoda Hana, membuat anak semata wayangnya itu merengut. Dia lalu membereskan map terakhir kemudian duduk di samping Hana. "Kenapa sih wajahnya gitu banget? Lagi ada masalah?"

Hana menghela napas berat.

"Sama mama kamu?"

Hana menggeleng.

"Sama Ari?"

Hana menggeleng lagi sambil menoleh ke arah Wisnu. Ayahnya itu lalu mengangguk-anggukan kepala. "Papa tau masalahnya?"

Wisnu menggeleng.

"Terus kenapa ngangguk-ngangguk?" tanya Hana, heran.

"Papa lagi pura-pura memahami isi pikiran kamu aja," celetuknya.

Hana sontak tergelak. Sambil mengangkat lengan kanannya dia menepuk-nepuk pundak Wisnu. "Papa tuh gak ada pantes-pantesnya tau gak ngomong kaya gitu," ucapnya prihatin.

"Iya Papa tau karena yang pantes ngomong kaya gitu itu cuma Ari aja." Wisnu bersungut-sungut sambil menatap lantai. Namun sedetik berselang dia mengangkat kepala lalu menoleh pada Hana. "Ngomongin Ari, Papa jadi pengin tau, dia kapan bisa pulang?"

"Belum tau." Bahu sempit Hana mengerdik. "Kalau misalnya dari pemeriksaan terakhir tadi sore udah gak ada masalah, Insha Allah besok dia udah diizinin pulang."

"Syukurlah." Wisnu mengembuskan napas lega. "Kasian juga ngeliat anak gak bisa diem kaya gitu harus disekap di rumah sakit."

Seulas senyum terbit di bibir Hana. "Emang dia se- gak bisa diem itu, ya, Pa?" tanyanya, "padahal kalau dilihat sekilas, Ari itu cenderung diem dan patuh banget. Apalagi sama orangtuanya."

"Gak bisa diemnya dia itu bukan dalam artian harfiah lho," balas Wisnu. "Papa yakin kamu tau itu lebih dari Papa."

Hana manggut-manggut. "Tapi aku juga pengin tau dari sudut pandang orang yang berbeda. Apalagi dari Papa."

"Kenapa?"

"Kadang-kadang penilaian dari kalian itu suka aku jadiin tolak ukur kalau semisalnya lagi selek sama dia," ujar Hana. "Tapi penilaiannya harus yang objektif. Jangan hanya karena Papa klop banget sama dia, atau karena Papa gak enak sama aku,  sampai-sampai di mata Papa, dia itu gak ada cacatnya sama sekali."

Wisnu tersenyum. "Hmm ... gimana ya? Kadang Papa paling males kalau disuruh menilai orang. Apalagi Ari. Abisnya dia udah kaya anak sendiri sih."

"Kalau gitu nilai dia seperti Papa menilai aku."

"Kamu gak ternilai," sela Wisnu cepat.

"Tapi masasih dia gak ada jelek-jeleknya atau busuk-busuknya gitu?" tanya Hana gemas. "Misalnya; Ari itu baik sih, Han. Tapi dia itu nakal."

i'm yoursWhere stories live. Discover now