i'm yours 46.

7.7K 673 180
                                    

"Bang, bangun."

Sayup-sayup suara Rani masuk ke pendengaran Ari. Bersamaan dengan itu tubuhnya juga serasa digoncang pelan. "Kenapa, Ma?" tanya Ari setengah bergumam dalam keadaan mata yang masih tertutup rapat.

"Bangun."

Mengangguk samar, Ari lantas mengerjapkam mata kemudian menguceknya.

"Bangun," perintah Rani lagi. Kali ini suara mamanya itu terdengar agak sengau seperti habis atau sedang menangis. Ari belum tahu pasti, sebab di penglihatannya sekarang hanyalah riak-riak kecil cahaya. "Bangun, Nak."

Kendati sekujur tubuhnya terasa sangat lemas, ditambah dengan rasa sakit yang luar biasa di kaki kirinya, Ari tetap bangun dan duduk tegap. "Kenapa?"

"Abang dengerin Mama baik-baik." Dengan tangan kanannya, Rani menyentuh lembut pipi Ari. "Abang sekarang bangun, terus ikut Mama turun ke bawah."

"Ke bawah? Kenapa ke bawah? Ini kan lagi di kamar Mama, di bawah." Ari mengerenyit seraya merjapkan matanya lagi. Namun yang didapatnya sama saja, selain riak-riak cahaya yang membuatnya pusing dan mual, dia masih tidak bisa melihat jelas wajah mamanya apalagi ruangan yang ditempatinya ini.

Tapi satu yang pasti, dia yakin tempat ini adalah kamar orangtuanya. Sebab sepulang dari pernikahan Resi dia langsung kemari, mengobrol dengan Dhika sebelum akhirnya tidur di sofa.

Rani malah tersenyum. Dan dengan gerakan lembut dia meraih tangan Ari, lalu meminta anaknya itu segera beranjak dari pembaringan. "Ikut Mama sebentar."

"Ma kenapa?" tanya Ari lagi. Dia meringis saat tubuhnya yang sakit tak keruan itu dipaksakan bangun dan berjalan. Rani yang berjalan di depannya  tidak menoleh sedikitpun ketika dia mendesis kesakitan. Padahal biasanya mamanya itu akan langsung peka meski dia tak mengatakan apapun.

"Eh." Langkah kaki Ari mendadak goyah begitu bersiap menuruni tangga. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa tiba-tiba berada di atas, padahal seingatnya dia tidur di bawah.

"Kenapa? Ayok turun!" perintah Rani saat melihat Ari malah bersandar pada pagar pembatas.

"Tadi aku tidur di kamar Mama, tapi kenapa sekarang aku ada di atas." Ari menggaruk kening.

"Tidur di kamar Mama gimana? Sepulang dari pernikahan Resi, kamu langsung naik ke sini dan tidur."

Ari menggeleng. "Nggak. Aku langsung masuk ke kamar Mama. Ngobrol sama papa terus aku ketiduran di sana."

"Ngobrol sama Papa?" Rani mengerenyit.

Ari mengangguk. "Iya."

"Kamu pasti mimpi," gumam Rani, seraya meraih tangan Ari dan menuntun anaknya itu untuk berjalan bersamanya.

Tidak membantah, Ari pun menuruti kemauan Rani. Berjalan beriringan bersama ibunya itu menapaki satu per satu anak tangga hingga mereka sampai di ruang keluarga.

Di sana, kebingungan Ari semakin menjadi. Dia melihat ruangan yang biasanya terkesan sepi itu kini dipenuhi orang-orang yang tidak dikenalnya. Ari lantas mengedarkan pandangannya. "Ini ada apa?" tanyanya heran. Kejadian seperti ini rasanya pernah dialaminya dulu. "Ma?"

Rani tak menjawab, perempuan itu malah terisak.

"Ma?" Ari menolehkan kepala, kebingungannya kian bertambah kala dia mendapati tak hanya Rani yang terisak tapi juga semua orang yang berada di sana, semuanya menangis. "Ma?"

"Abang." Rani mengusap lelehan air matanya, kemudian memeluk tubuh yang lebih tinggi darinya itu. "Abang janji harus tenang."

"Ada apa?"

i'm yoursDonde viven las historias. Descúbrelo ahora