8

7.8K 632 27
                                    

Sebelumnya Ari berpikir, kalau hubungannya dengan Hana tidak akan menemui kendala seperti ini. Kendala seperti orang ketiga yang berwujud sebagai anggota keluarga. Mengingat hubungannya dengan Hana sudah terjalin lumayan lama, dan keluarga masing-masing juga sudah sangat dekat bahkan sejak mereka masih kecil.

Ari mengusap wajahnya, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. Pekerjaan di hadapannya masih belum selesai hingga tengah hari ini, entah kenapa? Tapi setiap kali dia memfokuskan perhatian pada layar laptopnya, yang terlihat olehnya malah pesan teks dari Amih yang dibacanya tadi. Berlebihan memang, tapi sebagai manusia biasa, dia juga berhak merasakan yang namanya galau.

Menarik dan mengembuskan napas dengan perlahan, Ari mencoba berkonsentrasi, menatap layar laptopnya kembali. Laporan-laporan ini harus selesai dalam waktu satu jam dari sekarang sebelum dia menyerahkannya pada Dhika untuk ditandatangani. Kemudian dia harus mengecek lapangan hanya untuk memastikan para mekanik dan karyawan lainnya melakukan tugas mereka dengan baik.

Memutar ingatan kembali saat dia mampir sebentar ke rumah Hana dan mengobrol dengan Wisnu tadi pagi. Dia baru menyadari jika tatapan Amih kepadanya benar-benar menunjukan rasa tidak suka. Dia jadi berpikir apa jangan-jangan Amih memang tidak pernah menyukainya sejak dulu?

Tapi karena apa? Karena apa Amih bisa tidak suka kepadanya? Sejauh ini dia merasa selalu bersikap sopan dan normal-normal saja di depan perempuan sebaya omanya itu.

Ah, sekarang Ari merasa nyalinya benar-benar menciut, bak kerupuk yang disiram oleh air. Mengerut lalu mencair dan hilang. Baru juga hubungannya dalam tahap pemanasanan, tapi sudah disuguhkan dengan drama seperti ini.

'Tok tok tok'

"Masuk." Ari langsung mempersilahkan Sofia, bagian HRD masuk ke dalam ruangannya. "Kenapa, Mbak?"

Sofia mendelik. "Kenapa manggilnya Mbak sih?" protesnya, sambil meletakan 5 tumpuk map di meja Ari.

"Memang harusnya saya manggil apa?" tanya Ari.

"Kakak," sahut Sofia, tersenyum jahil lalu merapihkan blazer berwarna abu-abu yang dikenakannya.

Ari ingin terbahak, yang benar saja dia harus memanggil 'kakak' kepada perempuan yang usianya hampir sebaya dengan mamanya itu. "Mbak Sofi aja. Lebih enak soalnya," ujarnya.

Sofia tersenyum, lalu membukakan map paling atas untuk diperlihatkan pada Ari. "Ini ada laporan dari BPJS ketenagakerjaan mengenai iuran yang belum disetorkan oleh perusahaan," ucapnya dengan suara pelan. "Baru saya cek, ternyata uang 1 M yang di gondol sama si Maling itu termasuk uang iuran yang harusnya sudah disetorkan kepada pihak BPJS sebulan lalu."

Ari mendongakan kepala setelah mendengar ucapan Sofia barusan, bukan perihal uang iuran yang harusnya dibayarkan, melainkan perihal Sofia yang memanggil Wahyudi dengan sebutan si maling.

"Pihak dari BPJS tadi menelepon dan meminta agar perusahaan segera menyetorkan iuran bulan lalu, sebelum pihak mereka merilis saldo terbaru karyawan."

Ari mengangguk-anggukan kepala sambil membaca secara teliti surat pemberitahuan tersebut. Matanya meneliti setiap angka yang tecetak di sana sebelum ia terhenyak ketika melihat jumlah terakhirnya, hampir 40 juta untuk bulan kemarin saja. Berarti jumlah semuanya hampir 80 juta jika dikalkulasikan dengan iuran bulan ini.

Ari menganggukan kepala lalu menutup map tersebut. "Laporan lainnya nanti saya pelajari lagi, dan ini." Ari menunjuk pada map berjilid biru itu. "Nanti biar saya yang laporan langsung ke Pak Dhika."

Sofia mengangguk, kemudian berpamitan untuk kembali ke ruangannya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, mungkin karena melihat raut wajah Ari yang benar-benar muram.

i'm yoursWhere stories live. Discover now