i'm yours 28

6.5K 584 26
                                    

Ari dan Hana masih duduk berhadapan di ranjang pasien, bahkan Hana tampak makin nyaman bersandar pada kaki Ari yang tertekuk. Sementara Oval, si bocah itu tampak sudah dalam kondisi setengah sadar setelah lelah menertawakan Ari sambil sesekali berceloteh menanyakan keberadaan ayahnya.

Padahal Ari sudah mengirimi pesan pada Rani sejak setengah jam yang lalu, memberitahukan jika Oval sudah merasa tidak betah dan meminta pulang. Tapi hingga sekarang pesan balasan belum juga muncul. Mungkin karena ibunya itu masih sibuk ngobrol atau apalah di bawah sana.

"Ri?"

"Hm?"

"Si Resi tadi siang ngirimin aku kain batik."

"Buat apa?"

"Dia minta kita supaya seragaman sama keluarganya." Hana mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya kemudian menunjukan foto batik yang dikirim Resi.

"Warna kuning?" Alis Ari bertaut. "Yang bener aja."

Hana tersenyum. Dia tahu kalau Ari pasti akan protes dengan pilihan warna yang diberikan oleh Resi. "Yang pentingkan nggak pure kuning, Ri. Masih ada motifnya."

"Tapi tetep aja didominasi warna kuning," balas Ari kekeh. "Emang gak ada pilihan warna lain yang semotif?"

"Pengantennya mau warna gini." Hana mendengus. "Lagian waktu kecil bukannya kamu suka banget sama warna kuning? Sampe-sampe sepatu bot kamu aja warnanya kuning. Kenapa sekarang jadi gak suka?"

"Faktor usia," jawab Ari singkat. "Mending kita beli batik sendiri aja, jangan samaan."

Hana menggeleng. "No. Si Resi udah nganggap kita keluarga lho, masa gak kita hargain? Kalau misalnya kita yang ada di posisi dia, gimana?"

"Kuningnya terlalu cerah, nyari yang kaleman dikit." Ari masih berusaha menego.

"Dari si Resinya udah dikasih gini mau gimana lagi. Ari, ya? Please!" Hana memelas dengan tatapan memohon.

Ari tidak menjawab.

"Berarti iya." Hana tersenyum lebar. "Kalau gak jawab berarti iya."

"Iya-iya. Terserah." Ari mengalah pada akhirnya, lalu mengalihkan pandangan matanya dari Hana ke arah Oval. "Nanti pulangnya dianterin Kang Yana," ucapnya.

"Aku bawa mobil sendiri kenapa harus bareng sama Kang Yana?" Dahi Hana mengerenyit.

"Udah malem, emang kamu gak takut ntar dijalan ada yang ngebegal?"

Hana tergelak. "Tukang begalnya juga lagi sakit di sini." Dia tahu itu hanya akal-akalan Ari saja. Lagipula jarak dari rumah sakit ke rumahnya tidak terlalu jauh.

Ari tersenyum jahil. "Jadi nanti Kang Yana buntutin dulu kamu sampe ke rumah, abis itu baru dia balik. Biar kaya di drama-drama gitu."

"Mana ada yang mau buntutin ngomong dulu," ucap Hana, prihatin. "Tapi terserah sih yang penting kamu seneng."

"Abisnya aku bingung."

"Bingung kenapa? Bingung mikirin biaya rumah sakit?" goda Hana. "Pinjem aja dulu sama aku, tapi balikinnya sepuluh kali lipat."

Ari mendecih. "Mending sekalian minjem ke Bank. Lagian bukan bingung masalah itu."

"Terus apa?" Hana menatap Ari penuh selidik.

"Pengin nganter kamu pulang tapi gak bisa," jawab Ari cepat, sebelum Hana menyambar dengan pertanyaan aneh lainnya.

Hana terkekeh. "Makanya cepet sembuh."

Ari tersenyum. Maunya juga seperti itu, tapi mau bagaimana lagi? Nyatanya proses recoveri selalu memakan waktu lebih lama. Mendapat lampu hijau boleh pulang setelah sepuluh hari pasca operasi saja itu sudah masuk dalam kategori paling cepat.

i'm yoursWhere stories live. Discover now