5.

8.9K 685 54
                                    


Usai sambungan telepon dengan Hana terputus, Ari langsung memasukan ponsel itu kembali ke dalam saku celananya kemudian mendudukan tubuhnya di teras mushola.

"Kenapa gak ikut makan siang sama bapak, Bang? Malah nongkrong di sini."

Ari menolehkan kepala ke arah kirinya dan mendapati Yana, sopir perusahaan yang duduk bersila sambil tersenyum ke arahnya.

"Belum lapar dan belum salat dzuhur. Jadi nanti aja abis salat nyari makannya, lagian Pak Dhika perginya sama tamu penting 'kan?"

Yana terkekeh saat mendengar Ari menyebut bosnya dengan sapaan seperti itu.

"Kenapa?" tanya Ari, heran.

"Aneh aja, denger Abang manggil bapak dengan sebutan itu. Ngomong-ngomong Abang lagi gak enak badan, ya? Suaranya kok jadi agak seksi."

Ari menganggukan kepalanya. "Baru kena angin Jakarta lagi," ujarnya sambil tergelak. "Masalah panggilan itu kayanya dari sekarang aku harus mulai membiasakan diri. Soalnya 'kan ini tempat kerja bukan di rumah."

"Iya juga ya. Akang jadi yakin nih, kalau Abang pasti jadi pemimpin yang profesional," puji Yana.

"Insha Allah." Ari menyahuti sembari tangannya sibuk menggulung lengan kemeja putih yang di kenakannya sampai di atas sikut.

"Padahal seharusnya Abang ikut aja sama bapak, kan Abang sama-sama tamu penting," ujar Yana. "Kalau dulu sih pas Pak Wahyudi masih kerja, biasanya beliau selalu ikut serta menjamu tamu." Yana diam sebentar, tampak berpikir kemudian tersenyum. "Tapi berakhir dengan beliau membujuk tamu untuk menanamkan saham di perusahaannya."

Ari tersenyum mendengar itu. Karena seorang Wahyudi juga lah dia jadi berada di sini sekarang, menggantikan orang  yang sudah menggelapkan uang perusahaan demi memajukan perusahaannya sendiri.

"Padahal Pak Wahyudi sudah bertahun-tahun menjadi kepercayaan Bapak," ujar Yana dengan nada sedikit kesal.

"Ya, namanya juga manusia, Kang, punya sifat berubah. Jangankan orang lain seperti Pak Wahyudi, yang masih keluarga aja kadang suka gitu."

Yana menggelengkan kepalanya sambil tersenyum miris. "Sjka aneh aja gitu, di depan sok-sokan baik dan melindungi padahal di belakang mah ngancurin.  Kalau kata orang sunda tuh, muka ngadep, hati mungkir."

Ari menyimak ucapan Yana dalam diam, dia paham akan kekesalan Yana karena ia juga merasakan hal yang sama. Bukan hanya kesal karena Wahyudi sudah menggelapkan uang perusahaan sebesar 1 milyar, tapi Ari juga kesal karena Wahyudi tidak tahu terima kasih.

Padahal Wahyudi sempat dibantu oleh papanya saat sedang kesulitan membiayai anaknya yang masih kuliah di fakultas hukum saat itu. Tapi sekarang, setelah anaknya itu lulus dan menjadi pengacara kemudian dia mulai menjalankan bisnis sendiri, jangankan berterima kasih, Wahyudi malah membalas kebaikan papanya itu dengan sebuah pengkhianatan.

"Tapi Akang yakin, perusahaan bapak secepatnya akan bangkit lagi." Yana bercucap dengan semangat kemudian menepuk pundak Ari. "Soalnya, orang kepercayaannya sekarang adalah orang baik."

Senyum Ari mengembang, senyum malu sekaligus geli karena mendengar pujian tersebut padahal dia belum melakukan apa-apa di sini.

"Karyawan lain juga optimis, apalagi karyawan cewek," lanjut Yana. Dia mengingat kembali respon yang ditunjukan karyawan bengkel saat Dhika mengumumkan kalau Ari akan menggantikan posisi Wahyudi sebagai manajer. Selain karena usia yang masih sangat muda, ditambah penampilan fisik yang enak dipandang membuat anak majikannya tersebut langsung jadi trending topik seisi bengkel, terutama karyawan perempuan. "Kayanya Akang harus siap-siap lahir batin kalau nantinya ada yang nanya-nanya tentang Abang."

i'm yoursUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum