BadBoy 21 (1)

193K 12K 145
                                    

Megan terbuai dalam lamunannya sepanjang perjalanannya kembali ke kantor setelah perbincangan singkatnya dengan Auryn.

Permintaan yang terasa amat tidak masuk akal itu terus mengusik Megan. Apa ia tidak akan terlihat gila kalau mengabulkan permintaan Auryn?

Jangan meninggalkan Alceo? Ia bahkan tidak pernah tinggal sebelumnya. Kenapa ia tidak boleh pergi sekarang?

Lamunan Megan buyar setelah mendengar denting lift yang sudah berhenti di lantai 11. Pintu Lift terbuka dan Megan sudah akan melangkah keluar kalau saja ia tidak terpaku saat melihat Pria yang sedang di pikirkannya bediri menjulang di depannya, sama terkejutnya.

"M-mr.Tyle-"

Pintu lift tertutup sebelum Megan sempat menyapa Alceo. Dengan cepat Alceo menahan pintu itu dengan sepatu dan juga tangannya hingga pintu tidak jadi tertutup.

Megan sedikit terkejut dengan apa yang barusan Alceo lakukan agar pintu lift kembali terbuka.

"Kau tidak jadi turun?" Tanya Alceo seraya menahan pintu lift dengan kedua tangannya agar tetap terbuka.

"A-ah iya, aku sudah sampai." Megan tertawa kikuk, lalu memaksa kakinya untuk melangkah.

Alceo masih merentangkan tangannya ketika Megan sudah tepat berada di hadapannya hingga Alceo bisa menghirup aroma Wanita itu sebelum ia terpaksa membuka jalan untuk Megan lalui. "Maaf," gumamnya.

Megan berbalik dan menatap punggung Alceo sesaat sebelum kembali berbalik menatapnya.

Percayalah, hanya Kau yang mampu menyeimbangi diri Marvel, Megan.

Kata-kata Auryn berulang seperti kaset rusak di kepalanya. Tapi ia sama sekali tidak mengerti, apa dan bagaimana cara menyeimbangi laki-laki yang terlihat jauh berbeda dengannya itu dalam segi manapun.

Selain perasaannya, Megan tidak memiliki apapun lagi untuk ia tawarkan.

Mungkin Auryn benar-benar sedang dalam pengaruh alkohol yang tinggi hingga wanita itu bisa meminta permintaan tidak masuk akal itu padanya.

Hingga pintu lift tertutup, memutuskan tatapan mata mereka, Megan masih terdiam di depan pintu selama beberapa saat sebelum sadar akan satu hal, kenapa Alceo bisa berada di lantai 11?

***

Alceo memacukan mobilnya dalam kecepatan standart. Matanya menatap awas jalanan dan juga kaca spionnya bergantian meski kepalanya sudah hampir meledak memikirkan masalah-masalahnya.

Begitu mobil berhenti di basement Apartemennya, Alceo langsung keluar menuju ke lift yang akan membawanya menuju ke lantai paling atas.

Melihat pintu lift, pikirannya kembali di tarik ke kejadian singkat di kantor tadi. Dimana ia sengaja mencari Megan hanya untuk melihat wanita itu yang tidak ia temukan di mejanya. Mengira kalau Megan kembali menghindarinya, ia baru merasa lega saat berpapasan di depan lift ketika ia sedang menerima dirinya kembali di hindari.

Mungkin itu hanya perasaannya saja ketika ia melihat sorot mata Megan yang seakan ingin mengatakan sesuatu padanya sebelum pintu tertutup. Ia tahu kalau wanita itu terlalu membencinya, laki-laki yang selalu memperhatikannya melalui kamera pengintai, ikut tertawa saat melihat wanita itu bercanda dengan teman sebelah kubikelnya, dan marah ketika ada karyawan laki-laki yang menghampiri kubikelnya.

Jatuh cinta memang semenyeramkan itu ternyata.

Lamunannya buyar, ia menegakkan tubuhnya saat pintu lift terbuka yang langsung memperlihatkan satu-satunya pintu disana yang merupakan Penthouse pribadi miliknya.

Ia menghela nafasnya yang terasa berat sebelum melangkah keluar dan membuka pintu Penthouse dengan angka kombinasinya.

Sudah cukup lama ia tidak pulang kesana. Lebih tepatnya setelah Barbara mengatakan dirinya hamil, dan memaksanya untuk menemani wanita itu ke New York jika menginginkan bukti kebenaran ucapannya. Wanita itu memaksa untuk tinggal di Penthouse ini tanpa persetujuan Alceo yang membuat laki-laki itu memilih pulang ke Mansion keluarganya untuk menata ulang isi kepala dan juga hatinya.

Lalu, kenapa ia berada disini sekarang? Karena Barbara meneleponnya, memintanya untuk datang saat Alceo hendak kembali ke ruangannya setelah dari lantai 11.

Kakinya melangkah lurus menuju ke kamarnya yang terletak di lantai 2. Begitu membuka pintu, suara muntahan yang berasal dari kamar mandinya yang pertama kali di dengar Alceo. Alceo langsung bergegas menuju ke sana mengikuti sumber suara.

Alceo berdiri di ambang pintu, melihat punggung Barbara yang masih sedikit membungkuk di depan wastafel.

Barbara mendongak, lalu ia melihat pantulan Alceo dari cermin yang berada di hadapannya. Ia lalu berbalik sambil tersenyum setelah membilas wajahnya sekali lagi.

"Kau sudah datang?" Tanyanya. Ia langsung menubrukkan tubunya memeluk Alceo erat. "Maaf kau harus melihat hal menjijikan barusan. Apa kau sudah lama?" Tanya Barbara manja sambil mendongak menatap wajah datar Alceo.

"Apa yang terjadi barusan?"

"Ah, hal wajar pada wanita hamil. Aku hanya mengalami mual. Kau tidak perlu khawatir," jawab Barbara sambil terkekeh. Ketika Barbara hendak mengecup bibir Alceo, Alceo langsung mengelak dan melepas kedua tangan Barbara yang melingkar di lehernya dengan sedikit paksaan.

"Kenapa kau memintaku kemari?" Tanya Alceo datar.

"Kau tidak pulang 2 minggu ini. Aku hanya merindukanmu. Well, kami merindukanmu," Barbara mengelus perut ratanya sambil tersenyum kecil seakan mengejek Alceo.

Rahang Alceo semakin mengeras.

"Kau masih tidak percaya kalau anak ini adalah anakmu, Alceo?" Tanya Barbara seakan bisa menebak isi pikiran Alceo. "Apa bukti foto dan video yang kuberikan-"

"Aku mabuk saat itu, Barb!" Sela Alceo. Ia berbalik dan berjalan menuju ke meja kerjanya lalu berbalik lagi melihat Barbara yang mengikuti langkahnya. "Apa kau mengira aku akan percaya dengan foto dan video itu? Kau bisa saja memalsukannya. Tidak ada yang tidak mungkin sekarang, Barbara! Jangan membuatku tertawa!"

"Kau bisa bertanya pada teman bartendermu itu kalau tidak percaya." Barbara tersenyum sinis sambil bersedekap. "Dia sendiri yang mendengar kau menginginkan malam panas yang akan selalu kau ingat. Kau bahkan berkata setuju saat aku mengusulkan untuk mengabadikan malam itu dengan kamera ponsel."

Pernyataan Barbara membuat Alceo terdiam. Ia berusaha menggali ingatannya akan malam itu, tapi tidak ada. Alceo selalu melupakan malam-malam itu keesokan harinya. Tidak terkecuali malam dimana katanya Alceo meminta untuk mengabadikan pergumulannya, dan melupakan pengaman yang selama ini tidak pernah sekalipun ia lupakan.

Barbara mendekat begitu melihat Alceo melunak. Perlahan, ia menyentuh tangan Alceo dan mendekatkan dirinya lagi. "Tidak bisakah kau menerimanya?" Tanya Barbara sambil berbisik dan mengecup rahang Alceo yang kembali mengeras. "Temani aku, Alceo. Aku membutuhkanmu... aku akan membuatmu mengingat malam itu secara perlahan dan aku akan membuatmu terus mengingatnya...," Barbara terus berbisik. Tangannya menyentuh dada bidang Alceo, mengusapnya perlahan lalu bergerak turun melewati perutnya. "Temani aku..."

***

Tbc

Bad Boy CEO And I [#MFFS 3]Where stories live. Discover now