ENAM BELAS

26.5K 1.8K 8
                                    

Reno datang ke rumah Kania dan langsung meminta maaf sambil berlutut dengan dramatis. Cowok itu bahkan membawa banyak makanan kesukaan Kania. Selain karena rasa bersalah, omelan ayahnya yang ia terima lewat telpon cukup untuk membuat ia bergegas meminta maaf.

"Gue nggak nyangka ada kejadian kayak gini, Ka. Gue minta maaf. Udah lima menit gue berulut tapi lo masih diem aja. Pegel gue," keluh Reno lantaran Kania tidak memberi respon apa pun. Cewek itu malah sibuk memainkan ponsel sambil memakan kripik kentang dengan kaki selonjoran di sofa.

Satu menit kembali berlalu, Kania melirik Reno yang masih berlutut dengan tampang bodoh. Padahal, Kania sama sekali tidak marah dan tidak butuh permintaan maaf apa pun dari Reno. Ia tidak bicara karena luka di sudut bibirnya terus berdenyut. Selain itu, iseng sedikit tidak jadi masalah, kan? Seharian mengalami hal buruk, Kania tentu butuh sedikit hiburan.

"Nggak bawa donat?" tanya Kania, tidak tau diri.

"Ka, ini gue pegel, lho."

"Bangun aja. Nggak ada yang nyuruh lo berlutut." Kania melihat semua makanan di meja, ditaruhnya toples berisi keripik kentang dan diambilnya salah satu bungkus makanan ringan yang dibawa Reno.

Reno akhirnya bernapas lega dan berdiri. Kaki Kania menguasai sofa sehingga membuat Reno harus mengangkat kaki cewek itu dan menaruhnya di atas pahanya agar ia bisa duduk. Dengan punggung bersandar, Reno mengedarkan pandangannya, mengamati setiap sudut kamar Kania yang sedikit berantakan.

"Gimana ceritanya lo bisa dibawa ke kantor polisi?" tanya Reno lantas menilik wajah Kania yang terluka.

Reno mendapatkan informasi itu dari Abdi, yang beberapa waktu lalu menghubunginya. Jika omelan dapat menghasilkan api, mungkin telinga Reno sudah hangus terbakar karena mendengar omelan panjang kali lebar dari ayahnya lewat telpon.

Sejak pertama kali Kania menjadi tetangganya, Abdi selalu meminta Reno untuk menjaga Kania. Bahkan sepertinya, kedua orangtua Reno menyayangi Kania lebih dari anaknya sendiri. Tidak. Reno tidak pernah cemburu dengan hal itu. Dia malah merasa senang kedua orangtuanya sangat perhatian dengan Kania.

Kania menaruh ponselnya di atas perut lalu memandang Reno dengan malas. "Beberapa hari lalu gue ada masalah sama Adeline, anak SMA Angkasa. Mungkin karena itu dia dendam sama gue, terus nyuruh temen-temennya buat nyakitin gue. Masih belum jelas, sih, Adeline dalangnya atau bukan. Tapi nggak perlu dicari tau juga udah jelas siapa dalangnya."

Reno fokus melihat wajah Kania, lantas tawa kecil terdengar dari mulutnya. "Kasian banget cantik-cantik mukanya bonyok," ejek Reno. "Adeline yang mana, sih? Sini biar gue buat bonyok juga."

Mata Kania memutar malas. Ia tidak lagi berniat melanjutkan topik itu dan beralih ke topik lain. "Gimana hubungan lo sama Chesa?" tanya Kania, mengingat alasan Reno telat menjemputnya adalah karena Chesa.

"Ya, gitu. Childish banget, tuh, cewek. Gemesin sih, tapi kadang buat gue jengkel. Niatnya mau gue jedor minggu depan, tapi gue masih ragu."

Kania hanya dapat menganggukkan kepalanya. Ia bukan ahli cinta, jadi ia tidak bisa memberi saran apa pun untuk Reno. Pengalaman Kania dalam urusan percintaan itu jauh lebih buruk daripada anak SD. Sedari kecil ia tidak pernah memikirkan hal semacam itu. Setelah putus dari Bara, mungkin Kania akan hidup tanpa pasangan hingga tua. Ia tidak akan menikah. Karena menurutnya, pernikahan itu menakutkan.

"Gimana hubungan lo sama Bara?" kini giliran Reno yang bertanya.

Kania mengambil ponselnya yang berada di atas perut lalu memindahkannya ke atas meja. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dan menekuk lututnya yang pada awalnya berada di atas paha Reno.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now