TIGA PULUH

27K 1.7K 15
                                    

Kania duduk memeluk lutut di brankar UKS paling ujung. Dia mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu, di mana Bara nyaris melayangkan tinju ke wajahnya. Dia syok dan secara reflek melindungi wajahnya dengan tangan. Kania tidak tahu bagaimana ekspresinya saat itu, pasti benar-benar terlihat ketakutan.

Memalukan.

Kania mendengus sebal. Setelah kejadian tadi, dia sama sekali tidak merasa bersalah.

Tidak.

Dia selalu merasa bersalah, tapi dia terus menerus menepisnya sampai tanpa sadar dia tidak lagi merasakannya.

Kania kembali mendengus. Untuk pertama kalinya ia melihat Bara semarah itu. Ternyata sangat menyeramkan sampai ia pun bergetar. "Nyeremin," gumam Kania, lalu mencebik bibirnya.

Sementara itu, di sisi lain Bara dan Hana duduk berdua di halaman belakang.
Hana sudah mengangganti pakaiannya menjadi kaos olahraga yang ia simpan di loker. Sehingga saat ini hanya rambutnya yang masih basah.

Di antara mereka berdua tidak ada yang berinisiatif memulai pembicaraan. Bara sibuk meredakan emosinya, sementara Hana tengah memikirkan Ratih yang kini bersama Dipon. Entah di mana mereka berada, Hana harap Ratih akan baik-baik saja bersama Dipon.

"Lo nggak pa-pa?" Bara akhirnya memecah keheningan yang menyelimuti mereka beberapa saat. Emosinya belum benar-benar mereda, tapi ia sudah bisa mengendalikan pikirannya.

Tanpa menoleh, Hana mengangguk, menyatakan bahwa dia baik-baik saja.

"Udah berapa lama lo ditindas kayak gini?" tanya Bara. Ia tidak melihat ke arah Hana, pandangannya menatap lurus ke depan.

"Belum lama, sih, tapi nggak separah Ratih," sahut Hana.

"Kenapa nggak bilang ke gue?" tanya Bara lagi.

"Kalau gue bilang, ujung-ujungnya lo nyelesein masalah ini pakai kekerasan. Gue nggak suka." Hana menghembuskan napas setelah ia mengingat sesuatu. "Dulu, waktu kita kecil, setiap ada anak tetangga yang gangguin gue, gue selalu ngadu ke lo. Lo selalu bela gue dan bales perbuatan mereka dengan cara kasar. Makanya setiap kali gue ngadu, gue selalu nyesel karena kasian ngeliat anak tetangga jadi babak belur karena lo tonjok. Dari saat itu gue jadi males ngadu apa-apa ke lo."

"Tapi Kania udah keterlaluan—"

"Tadi lo bentak dia dan hampir aja main fisik. Dia itu pacar lo, lo nggak boleh bersikap kayak gitu."

"Dia nggak terlalu penting. Pacar gue nggak cuma dia." Bara terdiam sebentar lalu menengokkan kepalanya ke samping, menatap wajah Hana dari sudut ini. "Lagian, itu biar dia sadar, nggak semua orang bisa dia tindas sesukanya," ujarnya.

"Lo juga sama, nggak semua cewek bisa lo sakitin seenaknya," balas Hana.

"Kita lagi ngomongin Kania. Jangan bahas tentang gue."

Hana menghela napas, lantas menyandarkan punggungnya. Pandangannya mengarah ke langit yang pada hari ini sangat indah dan cerah. "Pernah nggak sih lo mikir, orang jahat bukan karena dia terlahir jahat. Mungkin aja dia pernah mengalami kejadian yang buat dia terluka, dan bersikap jahat adalah cara dia melindungi diri agar nggak terluka lagi," tuturnya dengan suara halus. Kemudian ia melanjutkan, "orang-orang kayak mereka pasti lukanya nggak kecil. Hidupnya juga nggak mudah. Mereka selalu bersikap defensif sampai tanpa sadar mereka takut untuk jadi diri sendiri."

Bara ikut menyandarkan punggungnya, menatap langit yang entah kenapa terlihat lebih indah dari hari-hari sebelumnya. "Jadi, lo membenarkan sikap dia yang suka bully orang?"

"Tentu aja enggak." Hana menarik sudut bibirnya, menampilkan senyuman yang tulus. "Gue merasa, Kania itu sebenarnya orang baik. Apa yang dia lakuin adalah bentuk perlindungan diri. Kalau lo bersikap kasar ke dia, dia bakal jadi lebih kasar biar nggak ada lagi yang berani bersikap kasar ke dia."

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now