DUA PULUH LIMA

26.9K 1.7K 9
                                    

Turnamen basket hari ke dua telah tiba. Bara dan timnya datang beberapa menit lebih awal untuk melakukan persiapan. Sebenarnya mereka bertanding pada sesi kedua, yang diadakan pada waktu pagi menjelang siang. Namun, mereka memilih datang lebih awal untuk latihan ringan di lapangan outdoor.

Bara dan timnya saat ini berada di depan gedung utama, bersiap untuk pergi ke lapangan outdoor. Namun, ketika Bara melihat sosok Kania yang sedang berjongkok sambil memegangi bagian perut, langkahnya tiba-tiba berhenti, membuat Reval yang jalan tepat di belakangnya, menabrak punggungnya.

"Aduh!" Reval mundur beberapa langkah sambil mengelus keningnya. Dia hendak memprotes, namun ketika melihat pandangan Bara mengarah ke Kania yang tampak tidak sehat, niatnya urung ia lakukan.

Bara memerintahkan teman-temannya untuk pergi lebih dulu, sementara ia menghampiri Kania yang masih jongkok di sana. Sesampainya di depan Kania, ia berjongkok, tangannya menyentuh puncak kepala cewek itu. "Kenapa?" tanya Bara.

Mendengar suara itu, Kania mendongak, menampilkan wajah pucat disertai dengan peluh di sepanjang kening dan pelipisnya. Berulang kali ringisan terdengar, membuat dia agak lambat menjawab. "Gue... gue lagi datang bulan." Kania menunduk lagi, wajahnya yang pucat kini sedikit menampilkan warna kemerahan. Mengatakan hal itu kepada laki-laki agak memalukan.

Bara mengerti dan hanya mengangguk sebagai tanggapan. "Mau gue gendong sampai UKS?" tawar Bara.

"Nggak usah!" Kania menjawab dalam kurun waktu kurang dari sedetik setelah Bara menyelesaikan kalimatnya. Dia cukup tahu malu untuk menolak tawaran itu. "Bantu gue jalan sampai UKS aja."

Bara membantu Kania berjalan ke UKS. Tak sedikit orang yang melihat mereka, namun kedua remaja itu tidak tertarik meladeni orang-orang. Kania fokus menahan rasa nyeri di perutnya sehingga tak sanggup untuk sekadar peduli. Sesampainya mereka di UKS, Kania langsung berjalan cepat menuju brankar paling pojok. Itu adalah tempat favoritnya.

Kania bebaring di brankar, tangannya tidak pernah sedetik pun lepas dari perutnya. Jika dia diam, sakit di perutnya akan sangat terasa, tapi jika bergerak juga sama. Dia selalu benci ini. Merasakan sakit di perutnya tiap bulan sampai dia tidak bisa berjalan dengan normal.

Bara tidak bisa berbuat banyak. Ketika Kania menggeliat dan berguling, dia hanya bisa menahan tubuh cewek itu agar tidak terjatuh. Sebelumnya ia tidak pernah berurusan dengan cewek yang sedang menstruasi. Pacarnya lebih dari lima, tetapi saat mereka mengalami sakit di perut saat sedang menstruasi, Bara tidak memiliki niat untuk peduli. Cewek yang sedang mendapat tamu bulanan selalu menyebalkan dan sering mengeluh. Terlalu merepotkan.

Dan kali ini, seolah sadar apa yang telah dia lakukan di sini, Bara tidak bisa tidak mengerutkan keningnya. Bagaimana bisa ia memiliki cukup kesabaran untuk mengurus Kania yang terus berguling sambil meringis. "Jangan guling-guling terus, gue males nahannya."

Kania berhenti, tubuhnya melingkar. Tapi itu hanya bertahan lima detik, dia kembali berguling-guling dan mengabaikan ucapan Bara.

Bara melihat jam di ponselnya. Teman-temannya pasti sudah menunggunya di lapangan; dia harus segera ke sana. "Gue harus ke lapangan buat latihan ringan," ujar Bara.

Kania mengubah posisinya menjadi duduk. Dia tahu penampilannya berantakan, tapi ia tidak punya energi untuk peduli soal itu. "Pergi aja. Nggak ada yang nyuruh lo tetep diem di sini."

Bara tidak suka dengan jawaban Kania, tapi dia sudah biasa dengan hal itu. Memangnya kapan Kania pernah melontarkan jawaban yang menyenangkan?

Bara merapikan rambut Kania yang berantakan menggunakan kedua tangannya. Ia juga menyeka keringat di dahi dan pelipis cewek itu. "Apa nanti lo bisa liat gue tanding?" tanyanya.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now