DUA PULUH SATU

26K 1.6K 9
                                    

Pada pukul 8 pagi, bulu mata lentik itu bergetar, dengan perlahan mata Kania terbuka, menampikan manik mata berwarna kecoklatan yang indah. Ia mendesah pelan sambil menyentuh kepalanya yang terasa pening, lantas ia bangun.

Kania berkedip beberapa kali, memperjelas pengelihatannya yang agak kabur. Setelah bisa melihat semuanya dengan jelas, cewek itu mengedarkan pandangannya, meneliti setiap sudut ruangan itu.

Ruangan itu adalah kamarnya. Kania menghebuskan napas pelan, lantas memaksakan diri mengingat kejadian sebelumnya. Samar-samar rangkaian kejadian yang terjadi dini hari tadi berputar di kepalanya. Seketika itu mata Kania melebar.

Kenapa ada Bara dalam ingatannya?

Kania meraih ponselnya yang ada di atas nakas, lalu mencari riwayat panggilan. Lagi-lagi matanya melebar ketika nama Bara tertera paling atas. Kania mengacak rambutnya frustrasi. Sekali lagi, ia memaksakan diri untuk mengingat secara menyeluruh.

Jantung Kania berdetak tak karuan ketika mengingat satu kejadian paling memalukan: dia mencium Bara!

"Sinting!" Kania melempar ponselnya ke sembarang arah, lalu merebahkan tubuhnya kembali dan menutup wajahnya yang memerah dengan bantal. Kakinya menendang-nendang di udara, salah tingkah.

Tiba-tiba, ia merasa mual. Kania segera bangun dan berlari terbirit-birit ke kamar mandi. Di dalam sana, ia memuntahkan semua isi perutnya di closet. Setelah merasa dirinya kembali nyaman, Kania berjalan sedikit ke wastafel. Ia melihat bayangan dirinya di cermin. Rambut berantakan, mata yang terlihat agak sayu, dan... ah, penampilannya kacau.

"Gue minum berapa gelas, sih?"

Kania membasuh wajah dan menyikat giginya. Karena merasa tak nyaman dengan tubuhnya yang lengket, cewek itu memutuskan langsung mandi. Setelah itu, ia berpakaian dan bersiap untuk sarapan.

Sebelum meninggalkan kamar, Kania mengingat satu hal lagi. Ia membuka rak tempat koleksinya disimpan. Ada satu barang yang hilang: boneka keramik karakter babi yang tersenyum. Kania tidak terkejut karena ia sedikit mengingat kejadian dini hari tadi, namun ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan secara gamblang. Bara mengetahui koleksi benda-benda lucunya; apa yang akan cowok itu pikirkan tentang dia? Apa sekarang Bara sedang menertawakannya?

Kania mendesah frustrasi sebelum ia melangkah keluar kamar menuju ruang makan. Di ruangan itu sudah ada Lucy yang duduk sambil menikmati segelas susu. Sesekali perhatiannya tertuju pada ponsel.

Kania menarik salah satu kursi yang berada tepat di seberang Lucy. Kedatangan Kania sama sekali tidak mempengaruhi bocah itu. Kania dengan agak enggan memakan sandwich yang disiapkan Bi Inah. Sesungguhnya, ia tidak merasa lapar.

Lucy menyeka susu yang menempel di atas bibirnya, lantas ia mengalihkan fokus ke Kania. "Karena nggak ada bokap sama nyokap, lo jadi tambah liar, ya?" cibirnya dengan senyum sinis. Dia sedang membicarakan kejadian dini hari tadi.

Pergerakan tangan Kania terhenti ketika mendengar perkataan Lucy. Cewek itu menaruh kembali sandwich yang tadinya hendak ia gigit. Ditunjukkannya senyun tak kalah sinis. "Masih pagi, gue nggak punya tenaga untuk adu bacot sama lo."

Lucy mengatupkan bibirnya, tidak berniat untuk bicara lebih lanjut.

Tiba-tiba suara dering ponsel terdengar, mendominasi ruang makan yang agak sunyi. Baik Lucy maupun Kania sama-sama menoleh pada asal suara: ponsel Kania. Melihat nama Bara tertera pada layar membuat Kania melotot dan buru-buru meraih ponselnya yang berada di sebelah piring sandwich. Wajahnya tampak ragu-ragu saat menekan tombol hijau, setelahnya ia menempelkan benda pipih itu ke daun telinga kanannya.

"Gimana kondisi lo sekarang?" tanya Bara tanpa ada kata pembuka.

Kejadian di mana ia mencium Bara kembali berputar di kepala Kania. Seketika itu wajahnya memerah, bahkan saat ini ia tidak sanggup menjawab pertanyaan sederhana itu. Alkohol benar-benar membuatnya malu sampai ke tulang!

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now