EMPAT PULUH SATU

27.4K 1.6K 13
                                    

Setelah kejadian tidak diinginkan itu terjadi, Kania dan teman-temannya kompak menelpon orang tua mereka masing-masing. Keenam remaja itu langsung diantar pulang sebelum polisi datang. Mereka tidak akan menjalani pemeriksaan apa pun. Mereka hanya perlu menunggu di rumah sampai situasi kembali normal. Karena orang tua mereka yang akan membereskan semuanya.

Sangat tidak adil. Namun keluarga mereka memiliki uang dan kekuasaan. Seorang siswi miskin yang hanya memiliki seorang ayah pemabuk cukup mudah untuk dibereskan.

Kania duduk di sofa ruang tengah dengan tatapan kosong. Beberapa kali air matanya tumpah tanpa perintah. Dia tidak bisa menggambarkan perasaannya yang rumit. Yang jelas perasaanya membuat dia terjebak dalam ketidaknyamaan.

Mamanya sibuk mondar-mandir di belakang sofa sambil bicara dengan orang di seberang sana.

"Kamu udah ngomong sama Abdi, kan?" tanya Fara pada David lewat telpon.

"...."

"Oke. Kania udah di rumah."

"...."

"Iya, aku ke sana sekarang."

Panggilan terputus. Fara berjalan menghampiri Kania dan mengelus pelan punggungnya. "Kamu istirahat dulu ya, sayang. Mama mau urus masalah ini dulu."

Kania menatap Fara dengan mata berkaca-kaca. "Maaf."

Fara mengangguk. "Nanti kita bicara lagi, mama harus pergi sekarang." wanita itu mengecup kening Kania sekilas, lantas bergegas pergi ke tempat David berada untuk menuntaskan masalah ini.

Kania memutuskan untuk pergi ke kamarnya, mengunci pintu, lalu berbaring di ranjangnya yang empuk. Sambil menatap langit-langit kamar, ia mengingat kembali kejadian saat di sekolah tadi. Kejadian yang membuatnya syok bukan main.

Kenapa Ratih mengakhiri hidupnya?

Satu pertanyaan itu berputar terus menerus di kepalanya. Rasanya seperti kepalanya akan pecah saking kerasnya ia mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun jawaban yang ia cari-cari tak kunjung ia dapatkan, membuat Kania menangis sesenggukan sambil menekan kedua sisi kepalanya.

***

Dengan boneka beruang yang berada dalam pelukannya, gadis kecil berusia delapan tahun itu melihat sekeliling rumahnya yang hampir semua barang di sana ditutup oleh kain berwarna putih.

"Oliv, sekarang Papa sama Mama nggak akan sibuk lagi. Nanti kita hidup di rumah sederhana dan hidup bahagia. Olivia mau kan?" ujar Feli, seorang wanita berusia dua puluh lima tahun. Wanita itu dalam posisi setengah bertimpuh, mensejajarkan tingginya dengan putri semata wayang yang ia lahirkan ketika usianya baru menginjak tujuh belas tahun.

Gadis kecil pemilik nama lengkap Olivia Gunawan itu hanya diam, tidak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Melihat ini, sang ibu tersenyum getir sambil mengelus lembut puncak kepala Olivia.

"Oliv selalu bilang pengen punya keluarga kayak temennya Oliv, kan? Hidup bahagia di rumah sederhana, itu yang dinamakan keluarga."

"Hidup bahagia di rumah sederhana ... keluarga?"

Feli mengangguk cepat. "Iya keluarga. Kita bakal main bersama, bercanda bersama, pokoknya kita lakuin bersama. Oliv mau, kan?"

Tidak ada lagi yang ia inginkan selain menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dia lahir dari keluarga yang bergelimang harta. Semua keinginannya terpenuhi selain waktu bersama keluarganya. Sering kali Olivia merasa iri melihat temannya bisa merasakan apa yang disebut kehangatan keluarga. Dan sekarang Olivia mendapatkan kesempatan yang sama. Tanpa ragu Olivia mengangguk dan menjawab, "Oliv mau."

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now