TIGA PULUH TIGA

25.7K 1.6K 5
                                    

Kania berjalan menuju halaman belakang. Entahlah, ia tidak sadar jika langkahnya membawanya kemari, ia merasa sangat marah sampai tidak memperhatikan jalan. Karena sudah berada di sini, Kania duduk di bangku kayu yang berada tepat di bawah pohon mangga, menyandarkan punggungnya, lalu mengatur napas untuk menenangkan diri.

Bagaimana bisa ia melakukan kesalahan fatal dengan melupakan fakta bahwa Bara adalah cowok brengsek yang sudah meniduri banyak cewek? Rasanya darah dalam tubuhnya ikut memanas saat mengingat kembali kata-kata kurang ajar yang dilontarkan cowok itu. Kania sedikit menyesal karena tidak menampar Bara tadi. Saharusnya ia melayangkan lima tamparan di pipi kanan dan kiri cowok itu sampai meninggalkan bekas.

Saat emosinya mulai mereda, Kania menegakkan tubuhnya, menjatuhkan pandangan ke arah tanah. Ia melihat sepasang sepatu di sana, kemudian ia mendongak dan mendapati Hana sedang berdiri sambil memamerkan seulas senyum manis.

Kania yakin Hana sudah kehilangan kewarasannya. Kemarin ditindas habis-habisan, tapi sekarang Hana masih bisa tersenyum selebar itu pada pelaku yang menindasnya. Atau jika tidak kehilangan kewarasannya, saat ini Hana pasti sedang mengejeknya dengan senyum itu. "Dasar sinting," gumamnya. 

"Habis berantem sama Bara, ya?" Hana bertanya dengan suara lembut.

"Apa sekarang lo ngurusin hal semacam ini? Pasti berat, kan, jadi malaikat untuk cewek cupu kayak Ratih? Makanya sekarang istirahat, jangan malah ikut campur urusan orang lain." Kania memang sangat sensitif hari ini. Wajah lugu Hana dengan mudah membuat amarahnya kembali berkobar, ditambah lagi dengan pertanyaan yang dilontarkan cewek itu padanya.

"Kemarin dia kasar banget sama lo."

Kania mendesah heran. "Apa urusannya sama lo?" Kania terdiam sesaat sambil menatap Hana, lantas ia berdecih sinis. "O-oh... lo lagi ngejek gue, kan?"

Hana menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gue selalu pengen hubungan lo sama Bara baik-baik aja."

"Tapi maaf, gue nggak tertarik sama keinginan lo," balas Kania sinis. Kania benar-benar tidak habis pikir, mengapa Hana membuang waktunya untuk mencoba mengobrol dengan pelaku yang menindasnya? Sangat berbeda jauh dengan si lemah Ratih, yang bahkan berdiri sejauh lima belas meter di sekitar Kania saja sudah membuat sekujur tubuhnya bergetar. Entah karena Hana bernyali besar atau Ratih yang terlalu lemah dan penakut.

Hana termenung sesaat. Kania tidak tahu apa yang Hana pikirkan, sorot mata cewek itu terlalu sulit ditebak. Setelah menunggu beberapa saat, Hana akhirnya kembali membuka suara, "Apa di masa depan kita mungkin bisa jadi temen? Gue selalu pengen temenan sama lo."

Kania mengerutkan keningnya, tidak menyangka Hana akan mengatakan hal tersebut. Perkataan Hana membuat Kania penasaran dengan isi kepala cewek itu. Ia mendongak, memasang ekspresi datar seolah pertanyaan itu sama sekali tidak mengejutkannya. "Apa kepala lo habis kebentur? Dasar nggak jelas." Kania menjawab seolah ia meremehkan kata-kata Hana.

"Kalau kita berteman, apa lo bakal tetep jadi penindas? Gue selalu penasaran soal itu."

Sekali lagi, Kania tidak menyangka Hana akan mengatakan hal itu. Ia tidak memiliki satu pun kata di otaknya yang bisa membalas ucapan cewek itu. Bahkan ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Saat Kania memikirkan kembali kata-kata Hana, hatinya serasa diremas, membuatnya terjebak dalam ketidaknyamanan.

"Gue selalu pengen jadi temen lo, lebih awal dari Selena dan Alci." Hana bicara lagi. Sorot mata teduh itu mengarah pada Kania, membuat Kania semakin tidak nyaman.

Kania berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan yang ia rasakan saat ini. Dengan susah payah ia menunjukkan senyum sinis. "Kayaknya lo terlalu luang untuk mikirin sesuatu yang nggak penting kayak gitu." Kania bangkit dari duduknya. "Minggir." Ia menggerakkan dagu ke kanan, menyuruh Hana untuk menyingkir.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now