SEMBILAN

29.7K 1.9K 23
                                    

Keenam nama yang disebutkan—tanpa ragu—berjalan kompak keluar kelas. Bertepatan ketika mereka sampai di depan ruangan Pak Ardi, pintu kayu berwarna coklat tua itu terbuka, menampilkan kedua sosok cewek yang familiar. Dua orang itu adalah Hana dan Ratih.

Ratih langsung menunduk saat matanya tak sengaja bertemu tatap dengan mata dingin Kania. Berbeda dengan Hana yang dengan berani mengangkat dagunya dan menatap enam orang itu seakan tak kenal takut.

Kania mendengus dengan sinis sebelum ia menarik kerah seragam Hana dan menghempaskan tubuh cewek itu ke dinding. Tangannya mengepal dan hendak melayangkan tinju ke wajah Hana. Namun, pergerakannya terhenti ketika suara Pak Ardi dari dalam ruangan menginstruksi mereka untuk masuk.

Mata Kania menatap Hana dengan tatapan permusuhan. Ia melepas kerah seragan Hana secara kasar lalu berjalan memasuki ruangan. Alci melirik Hana sekilas, tak lupa ia memberi sebuah peringatan untuk memperingati Hana bahawa urusan mereka belum selesai. Sementara Selena hanya tertawa penuh ejekan melihat tingkah sok berani yang ditampilkan Hana.

Sedetik setelah keenam cewek itu masuk dan pintu ruangan ditutup, Ratih berlari kecil menghampiri Hana lantas segera membantunya. Saat melihat Hana yang nyaris menerima tinju dari Kania, Ratih merasa bersalah sekaligus menyesal. Dia terus bertanya-tanya; apa keputusannya untuk melapor tindakan perundungan yang dialaminya sudah benar? Atau keputusan itu malah menjadi petaka bagi dirinya sendiri? Terlepas dari benar atau tidaknya keputusannya tersebut, Ratih tetap merasa takut.

Hana tersenyum tipis kala melihat mata Ratih berkaca-kaca. Tangannya meraih kedua tangan Ratih lalu menggenggamnya dengan penuh kehangatan. "Nggak pa-pa. Ini udah bener. Kita emang harus laporin tindakan mereka."

Sebenarnya jika hanya dengan melapor pada guru bisa membuat Kania dan teman-temannya berhenti melakukan perundungan, Ratih akan melakukannya sedari dulu. Namun, dari kasus-kasus sebelumnya, cara ini tidak pernah berhasil dan malah lebih membahayakan korban perundungan. Sebab keenam orang itu hanya terancam di drop out, namun tidak benar-benar akan di drop out.

Ratih tidak membalas perkataan Hana. Hati dan pikirannya masih dipenuhi dengan ketakutan. Hana yang menyadari ini lagi-lagi tersenyum, berusaha untuk menguatkan dan meyakinkan Ratih bahwa mereka akan baik-baik saja.

"Mau ke kantin?"

Ratih mengangkat kepalanya yang sempat menunduk. Ia menggeleng pelan dan menjawab, "A-aku ba-bawa bekal ma-makan si-si-siang."

"Ya udah, kita makan di halaman belakang aja. Kan di sana sepi, jadi lebih tenang."

Ratih mengangguk menyetujui. Halaman belakang sekolah memang tergolong sepi karena letaknya berada jauh dari gedung utama sekolah dan kantin. Tumbuhan di sana tumbuh dengan subur. Jenis rumput gajah mini yang hijau, pohon mangga yang sedang berbuah lebat, beberapa tanaman hias dan banyak lagi tumbuhan yang membuat sejuk suasana di tempat itu.

Setibanya di sana, Ratih dan Hana duduk bangku kayu yang melingkari salah satu pohon mangga. Ratih sudah membawa kotak bekal makan siangnya dan Hana membawa makanan ringan yang tadi ia beli di kantin. Mereka makan dengan tenang sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang kadang menerpa wajah mereka dan membuat rambut mereka tergerak dengan indahnya.

"Di-di-dikelas, Hana pu-punya te-teman?"

Hana menoleh ke samping lalu mengangguk. "Punya."

"Ke-kenapa nggak ba-bareng te-te-teman ke-kelas aja?"

"Temen gue pada suka gosip kalau lagi jam istirahat. Bukannya gue nggak suka gosip, tapi yang mereka gosipin itu topiknya Kania terus. Kalau bukan Kania pasti Selena atau Alci. Kadang juga gosipin cowok. Itu-itu terus, sampai bosen dengernya."

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang