TIGA PULUH ENAM

26.6K 1.5K 9
                                    

"Senyum, dong! Kenapa nangis, sih?" Alin mengarahkan kamera ponselnya ke arah Ratih, menyorot cewek yang kini tengah duduk di atas closet sambil menangis dengan suara tertahan itu. Alin lantas berpindah ke bilik satunya, tempat Hana berada. Berbeda dengan Ratih, sorot berapi-api di matanya tidak pernah padam, cewek itu berusaha keras untuk tidak menangis.

Suara tawa yang terdengar seperti ejekan itu mengudara di seluruh penjuru toilet. Selena mendekatkan wajahnya ke depan wajah Hana, tangannya terulur menepuk puncak kepala Hana. "Gue denger, lo juga bisa bela diri? Hebat juga ya, lo. Eh tapi kata 'hebat' kayaknya nggak cocok, ya? Soalnya kan, lo bisa bela diri, punya Bara yang selalu setia ada di pihak lo, tapi ujung-ujungnya masih aja bisa gue tindas." Selena menegakkan tubuhnya, lalu melakukan peregangan kecil. "Lemah," katanya kemudian menampar pipi Hana.

"Hallo, Hana, senyum dong ke kamera," seru Alin, tidak bisa menahan tawanya melihat betapa memprihatinkannya penampilan Hana saat ini. Rambut cewek itu sudah tidak karuan, alis kanannya sudah dicukur habis, bibirnya hitam akibat dicoret spidol permanen.

"Bukannya ini udah keterlaluan? Dia, kan, sepupu Bara!" Alci duduk di sebelah wastafel bersama dengan Kania yang berada di sebelahnya. Jujur saja, ia agak cemas bila teman-temannya melakukan hal lebih kejam terhadap Hana. Terakhir kali teman-temannya berhasil lolos dari ledakan emosi Bara karena Hana berhasil menahannya, namun entah kali ini mereka bisa lolos atau tidak.

"Berisik lo! Kalau nggak ikut ngapa-ngapain nggak usah banyak omong," sarkas Selena. Pasalnya, Kania dan Alci sedari tadi tidak ikut ambil bagian, hanya duduk dan menonton.

Alci mendengus lalu membuang pandangannya.

Kania menguap lalu melakukan peregangan kecil. Dia meluai bangkit dari duduknya dan memasuki bilik di mana Ratih berada. Untuk saat ini ia tidak ingin berurusan dengan Hana. Sosok Bara yang tengah dalam ledakan amarah masih terekam jelas dalam ingatannya. Jujur saja, itu cukup menakutkan jika terjadi lagi.

Katakanlah Kania aneh. Dia tidak takut melawan empat preman bertubuh dua kali lebih besar darinya tapi hanya membayangkan amarah Bara saja sudah membuatnya ketakutan. Entah kenapa itu berbeda. Dipukul oleh orang terdekatnya, menurut Kania, itu jauh lebih menakutkan.

Kania berjongkok di depan Ratih, lalu mendongakkan kepalanya, memandang tepat ke manik mata cewek malang itu. "Lo boleh pilih salah satu; tampar gue sekarang atau mohon ampun sambil melas-melas." Kania menampilkan ekspresi santai yang terkesan acuh tak acuh.

Ratih memainkan jari-jarinya sambil menunduk. Sama sekali tidak memiliki nyali untuk membalas tatapan Kania.

"Pilih." Kania kembali bicara.

"A-ampun, Ka-Kania. To-to-tolong ja-jangan ganggu Hana," ucap Ratih dengan tubuh gemetar. Ia memberanikan diri mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah memelasnya yang tidak dibuat-buat.

Kania terdiam selama beberapa detik sebelum ia mendengus dan berakhir dengan tawa kecil. Ia mengangguk pelan. "Gue tau lo bakal pilih ini."

Kania bangun, menghalangi pandangan Ratih sepenuhnya dengan tubuh tingginya. Tangannya terulur, menarik rambut Ratih hingga membuat si empunya berdiri dengan paksa. Lantas ia memaksa Ratih bersimpuh di depan closet dan tanpa ampun ia memasukan kepala Ratih ke dalam closet. Kania menoleh kepada Lidya, memberi kode cewek itu untuk menumpahkan seember air kotor ke atas tubuh Ratih. Kemudian Kania berjongkok, menarik kembali rambut Ratih dan memaksa cewek itu menghadapnya. "Sekali lagi, pilih; lo tampar gue sekarang atau lo mohon ampun."

Situasi saat ini sudah cukup membuat air mata Ratih meluruh deras seperti air sungai. Dia mengigit bibir bawahnya, menahan suara sesenggukan. Namun pada akhirnya, ia melepaskan gigitan itu sehingga beberapa kali suara sesenggukan lolos dari mulutnya. "A-ampun Ka-Kania."

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang