EMPAT

39.7K 2.3K 30
                                    

"Sudah berapa kali bapak bilang, sekolah itu tempat menimba ilmu, bukan tempat pacaran!"

Suara Pak Dinar—guru bimbingan konseling SMA Dirpan—mengudara dalam ruangan yang didominasi dengan warna putih itu. Matanya menatap dua orang yang duduk di sofa seberangnya secara bergantian. Dua murid kelas dua belas itu memasang ekspresi yang berbeda. Yang perempuan terlihat cemas; yang laki-laki terlihat acuh tak acuh.

Ini sudah kesekian kalinya Bara digiring ke ruang BK. Biasanya terdapat dua alasan mengapa ia bisa sampai ruangan ini. Pertama, Bara berkelahi di dalam lindungan; kedua, Bara kepergok melakukan hal tidak senonoh di dalam lingkungan sekolah. Untuk kali ini, Bara digiring ke ruang bimbingan konseling dengan alasan yang kedua. Pak Dinar memergokinya sedang berciuman di UKS dengan perempuan cantik bernama Alya.

"Bara, ini nggak sekali dua kali kamu Bapak pergok berciuman di dalam lingkungan sekolah. Apalagi dengan cewek yang berbeda! Ini ...."

"Bara!" Alya menginterupsi perkataan Pak Dinar. Cewek itu menatap Bara dengan mata berkaca-kaca. "Kamu selingkuh?" Wajahnya menunjukkan kesedihan, namun sebenarnya itu hanyalah akting. Dia tidak ingin Pak Dinar menganggapnya sebagai wanita yang rela diduakan. Walau kenyataan Alya tidak merasa keberatan jika Bara tetap menjadi pacarnya.

Bara memasang raut malas dan tidak nyaman. "Jangan pura-pura nggak tau. Di sini bukan panggung drama." Nada suara menunjukkan ketidakpedulian.

"Kamu jahat banget sih, Bar! Aku kurang apa coba? Aku pinter, aku cantik, aku setia. Kenapa bisa-bisanya kamu selingkuh?" tanya Alya, masih melanjutkan dramanya.

Tepat ketika Alya selesai mengucapkan itu, Bara rasanya ingin muntah saat itu juga. "Sok cantik banget lo."

"Bara!"

"Sudah! Kalian pikir ini rumah Uya? Ini ruang BK! Jangan ributkan masalah yang tidak seharusnya diributkan dalam ruangan ini." Pak Dinar berdeham pelan, menyadari emosinya sedikit melonjak. "Bara, kamu sudah sering kali mengulangi perbuatan tidak bermoral seperti ini. Kamu itu sudah kelas dua belas, beri sedikit contoh yang baik untuk adik kelasmu."

"Ciuman wajar kali, Pak, namanya juga pacaran. Beberapa bulan lagi saya udah delapan belas tahun, udah legal."

"Legal apanya? Selama belum berstatus suami-istri, itu berarti belum boleh melakukan hal kayak gitu."

"Bapak orang kuno. Jaman sekarang mah, selama nggak cium pacar orang, itu nggak masalah."

Pak Dinar menggeleng lemah, merasa tidak berdaya dengan jawaban-jawaban Bara. Bara Tangkasa itu salah satu murid merepotkan, tapi perilakunya tidak sampai ke jenjang dimana dia harus di drop out dari sekolah. Bara sering berkelahi, namun ia tidak pernah menjadi orang yang memulainya lebih dulu. Terlebih lagi perkelahiannya lebih sering sering dilakukan di luar lingkungan sekolah.

Selain berkelahi, Bara juga sering kepergok melakukan hal tidak senonoh di dalam lingkungan sekolah. Namun, untuk hal ini, hanya Pak Dinar yang mengetahuinya. Beliau tidak pernah mencatat hal ini ke dalam buku catatan siswa-siswi pelanggar aturan. Hal itu karena Pak Dinar yang adalah paman Bara sendiri, memiliki alasan untuk tidak melakukannya.

Pak Dinar menghela napas berat dan melirik Alya yang menangis dengan bibir yang bergetar. "Kamu silakan pergi dari ruangan lebih dulu. Untuk Bara, tetap diam di sini," pinta Pak Dinar.

Alya dengan sedikit enggan pergi dari ruangan, meninggalkan Bara berdua dengan guru bimbingan konseling itu. Kepergian Alya, mengubah postur tubuh Pak Dinar yang tadinya tegak, kini sedikit melorot dengan punggung yang bersandar pada sandaran sofa.

"Ini udah berapa kali Om pergok kamu ciuman di sekolah?" tanya Dinar. Gaya bicara yang tadinya formal kini menjadi lebih santai. Selayaknya hubungan paman dan keponakan.

Bara mengangkat bahu acuh tak acuh dengan pandangan menatap lurus ke depan.

"Kalau aja guru lain yang ciduk kamu, mungkin aja kamu udah terancam di drop out," ujar Dinar dengan wajah serius.

"Ada papa," balas Bara.

Dinar memejamkan matanya sembari memijat pelan pelipisnya yang terasa pening. "Kamu ... nggak akan...." Dinar tidak berniat melengkapi kalimatnya.

Mendengar nada ragu-ragu itu, Bara tertawa. "Berarti, aku cuma bisa bergantung sama Om Dinar." Bara menyandarkan punggung dengan santai.

"Kamu bisa berhenti berkelakuan sinting kayak gini kan, Bara? Kamu keterlaluan."

"Itu masih wajar. Namanya juga remaja yang lagi seneng-seneng."

"Nyakitin orang itu nggak baik."

"Kenapa Om seserius ini? Aku cuma mau seneng-seneng." Bara yang mulai malas dengan topik pembicaraan, mulai menampilkan raut tidak nyamannya. Kemudian ia memutuskan untuk beranjak dari ruangan itu. Namun, telinganya dengan tajam mendengarkan perkataan Dinar selanjutnya.

"Bara, Om cuma khawatir sama kamu. Hana... dia jauh lebih khawatir."

Bara menutup pintu ruang BK dengan perlahan. Raut wajah acuh tak acuhnya diganti dengan raut aneh yang tak terbaca.

***

Hana dengan penuh perhatian mengeringkan rambut Ratih yang basah dengan menggunakan handuk yang dibelinya di kota perlengkapan rumah tangga di depan sekolah. Mereka berada di dalam toilet wanita di lantai satu. Untungnya, toilet sepi karena bel masuk kelas sudah berbunyi beberapa menit lalu.

Sudut bibir Hana tersenyum tulus ketika matanya bertemu tatap dengan mata Ratih lewat cermin. "Lo nggak nyaman ya karena baju dalem lo basah?"

Ratih, yang sudah mengangganti seragam dengan kaos putih polos dan training, menggeleng pelan. "Eng-eng-enggak." Dia tersenyum penuh dengan rasa terimakasih. "Te-te-terimakasih, Ha-Hana."

"Ini bukan apa-apa. Lo harusnya nggak turutin kemauan mereka. Gue ngerti sih, mereka memang nyeremin, hantu aja lewat, kan?" Hana tertawa canggung setelah membuat lelucon yang kelewat garing. Itu karena ia ingin mencairkan suasana yang sedikit canggung. "Walau kita lemah, seenggaknya kita masih punya harga diri yang harus dipertahankan sampai akhir."

Mendengar perkataan Hana membuat Ratih merasa berat. Menyadari itu, Hana buru-buru menambah kata-katanya.

"Gue ngerti lo ada dalam posisi serba salah. Gue nggak bisa bilang apa-apa sih, karena bukan gue yang ada di posisi lo. Maaf ya, gue malah banyak omong. Lupain apa yang gue bilang."

Ratih menggeleng lagi dan tersenyum. "Te-te-terimakasih."

"Setelah ini, gue akan ngelapor ke guru. Mereka udah keterlaluan, nggak bisa dimaafin lagi."

"Ja-ja-jangan! Na-na-nanti ka-kamu ke-ke-kena masalah."

"Jangan cemas. Gue bisa bela diri, kalau mereka macem-macem, tinggal gue tonjok aja." Dia tertawa pelan.

".... Hana."

Meski demikian, Ratih tetap cemas. Para pelaku perundungan itu tidak bisa dianggap remeh. Apalagi Kania Yujian, yang dikenal jago bela diri dan memiliki latar belakang keluarga kaya raya. Jika Hana nekad melaporkan aksi keenam orang itu, maka Hana akan menjadi sasaran empuk untuk dibully.

Hana orang baik. Ratih tidak ingin Hana merasakan apa yang dia rasakan. Namun, berapa kali pun Ratih melarangnya, Hana tetap bersikeras untuk melapor pada guru. Itu membuat Ratih menyerah, dan kecemasan yang ada dalam dirinya semakin meningkat.

****

Komen kalau ada typo

Bye!

IDENTITY (END) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin