TIGA PULUH DELAPAN

27.4K 1.8K 23
                                    

Bara membawa paksa Kania ke markas pentolan SMA Dirpan. Tidak peduli dengan Kania yang terus memberontak untuk melepaskan diri. Setidaknya ia harus membicarakan masalah tadi dengan Kania agar mereka tidak semakin merenggang.

Ah tentu saja, Bara tahu ia begitu tidak tahu diri.

Sesampainya di dalam markas, ia dan Kania berhasil menarik perhatian para pentolan SMA Dirpan lainnya. Tanpa menunggu perintah dari Bara para pentolan SMA Dirpan itu mengerti situasi dan segera beranjak keluar gedung atau ada pula yang naik ke rooftop, sengaja memberikan dua sejoli itu ruang untuk bicara empat mata.

Kania masih berusaha untuk memberontak. Sejauh ini, Kania berhasil menahan tangisnya, meski ketenangannya sudah hancur sejak beberapa waktu lalu karena Bara memaksanya ikut ke sini.

"Lepas!" Dicekal seerat itu oleh Bara tentu saja membuat Kania merasa kesakitan di bagian pergelangan tangannya. "Gue bilang lepas!"

Langkah Bara berhenti namun ia tidak melepas cekalan tangannya. Ia menghembuskan napas dan berkata dengan berat, "Kita bicarain baik-baik."

Kania mendengus sinis mendengar empat kata tidak tahu diri yang dilontarkan Bara padanya. "Apa yang harus dibicarain, sih?" Kania mendesah pelan ketika melihat Bara tidak bisa menyahut. "Ayo putus." Dua kata itu diucapkan Kania dengan enteng.

Bara menaikan alisnya. "Gue pernah bilang syarat pu—"

"Tau!" Kania sengaja memotong perkataan Bara. Karena ketika ia mengajak Bara putus tadi, ia sudah memperkirakan Bara akan mengingatkannya soal syarat putus yang pernah dikatakan cowok itu beberapa waktu lalu. Kania mengangguk. "Kalau gitu ayo kita lakuin apa yang lo mau. Setelah itu, ayo putus."

Bara membatu ketika mendengar dua kalimat itu terlontar dari bibir Kania hingga tanpa sadar ia melonggarkan cekalannya dan membuat tangan Kania berhasil lepas. Awalnya ia hanya ingin mengancam Kania, tetapi ia tidak menyangka Kania akan merespon demikian. Kemudian mata Bara melebar melihat hal gila apa yang dilakukan Kania selanjutnya.

Sambil menatapnya, cewek itu mulai melepas kancing kemeja seragamnya sendiri.

Bara segera menghentikkan pergerakan tangan Kania ketika cewek itu hendak melepas kancing ketiga. "Lo gila?!" bentak Bara, tidak menyangka Kania akan melakukan tindakan gila semacam itu.

Kania menggeleng. "Gue nggak gila." Kania menghempaskan tangan Bara yang masih berusaha menahan tangannya. "Gue muak." Kemudian ia lanjut melepaskan kancing seragamnya.

Hingga sampai pada kancing terbawah, Bara kembali menghentikannya. Dengan wajah penuh amarah, cowok itu mengaitkan kembali kancing seragam Kania. "Kita nggak akan lakuin itu."

Bibir Kania bergetar melihat Bara dengan cekatan mengaitkan kembali kancing seragamnya. Kali ini, Kania tidak mencoba menghentikan cowok itu, tetapi ia bertanya dengan nada membentak, "Kenapa?! Bukannya ini yang lo mau?!"

Bara selesai mengancing seragam Kania hingga menyisakan satu kancing teratas. Dia kemudian menatap Kania dengan tatapan rumit yang tidak seorang pun mengerti arti tatapannya. "Itu dulu. Sekarang gue nggak mau ngerusak lo."

Bibir Kania yang awalnya bergetar karena emosi, kini terbuka sedikit karena tidak menyangka kata-kata itu keluar dari si brengsek Bara. "—kata cowok bajingan yang udah ngerusak banyak cewek," sahut Kania telak menghantam Bara.

Bara menghembuskan napas berat seraya mengacak rambutnya frustrasi. Ia lantas menatap Kania dengan sungguh-sungguh. "Maaf."

Tepat kita satu kata itu diucapkan, Kania bisa merasakan amarahnya semakin melonjak. "Kenapa lo nggak ngerti juga?! Gue cuma mau lepas dari hubungan sialan ini!"

"Gue nggak akan mau ngerti kenapa lo selalu minta putus. Kita nggak akan putus."

"Kenapa?!"

"Karena gue suka sama lo."

Bulu mata Kania bergetar, sorot matanya menunjukkan keterkejutan. Mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu membuat Kania tidak bisa berkata-kata. Dia sama sekali tidak merasa berbunga-bunga, sebaliknya, ia justru sangat-sangat marah. Setelah berhubungan badan dengan Alci, bagaimana bisa Bara mengatakan perasaannya pada Kania sekarang? Pengakuan itu malah membuat Bara semakin terkesan brengsek.

Tiba-tiba dering ponsel terdengar dalam kesunyian sesaat itu. Kania mengambil ponselnya di dalam saku seragamnya. Ia lantas melihat nama yang tertera di layar.

Reno

"Jangan diangkat." Bara melihat nama Reno dalam layar ponsel Kania. Rahangnya menegang dan ia menggertakkan gigi-giginya. Namun, melihat Kania mengabaikannya, emosi Bara tak tertahankan. "GUE BILANG JANGAN DIANGKAT!"

Kania memilih icon hijau, yang berarti ia menerima panggilan tersebut. Segera setelah itu ia menempelkan ponselnya ke telinga kiri.

"Lo di dalem gedung? Gue udah di luar. Gue nggak bisa masuk karena ditahan sama anak buah Bara."

Kania melirik Bara sekilas. "Gue keluar sekarang." Kemudian Kania memutuskan panggilan dan menatap Bara lagi. Namun, tanpa mengucapkan apa-apa, Kania segera melangkah pergi tanpa ada hambatan dari Bara.

Bara memijat pelipisnya sambil mendesah jengkel setelah melihat kepergian Kania. Hari ini benar-benar kacau.

Di luar, Kania melihat Reno duduk di atas motornya. Ia mempercepat gerak langkahnya, berusaha mengabaikan para pentolan SMA Dirpan yang menjadikannya objek perhatian. Sampai di depan Reno, Kania tersenyum lebar. "Ayo pulang."

Reno melihat senyum Kania yang terlihat dipaksakan. Dia mendengus, namun ia tetap membalas senyum Kania dengan senyum lembut. Lantas, Reno mengangguk.

Mereka berdua pun segera naik ke motor, pergi meninggalkan gedung itu dan menuju rumah. Perjalanan dari markas Pentolan SMA Dirpan ke perumahan tempat Kania dan Reno tinggal tidak terlalu mengahabiskan banyak waktu. Hingga mereka sampai di perumahan, Reno tidak menghentikkan motornya di rumah Kania, melainkan di rumahnya sendiri.

Kania turun, disusul oleh Reno.

"Kenapa di sini?"

Reno tersenyum. "Rumah gue sepi."

Kania menatap Reno dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Tidak lama, tangis yang sedari tadi Kania tahan pecah begitu saja, menghasilkan buliran bening yang mengalir deras di kedua pipinya.

"E-eh? Jangan di sini juga nangisnya." Reno segera merangkul Kania masuk ke dalam rumah, membawa cewek itu ke kamarnya. Sesampainya di kamar, mereka berdua duduk di ranjang dengan posisi saling berhadapan.

"Kenapa?" tanya Reno dengan lembut.

Kania sesenggukan sambil sesekali menyeka air matanya. Ketika ia hendak bicara, ia menangis lagi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Rasanya, ketika buliran-buliran bening dari matanya itu menetes, rasa sesak di dadanya kian berkurang.

"Nggak apa-apa. Nangis aja dulu." Reno menarik Kania ke dalam rengkuhannya, menepuk-nepuk pelan punggung cewek itu.

Kania terus menangis sampai-sampai kaus abu-abu Reno basah dibuatnya. Ketika sudah mulai tenang, ia mulai menceritakan semuanya dengan pelan-pelan. Mulai dari awal hubungannya dengan Bara, kemudian hubungan Bara dengan Alci, dan berlajut pada pengakuan Bara di markas pentolan SMA Dirpan tadi. Dan yang terakhir ... tentang perasaannya pada Bara.

Setelah semua sudah selesai dibicarakan, Kania kembali menangis hingga malam tiba. Reno memutuskan untuk menelpon David dan memberitahu bahwa Kania akan menginap di rumahnya. Reno hanya tidak ingin Kania menahan tangis lagi, juga tidak ingin orang tua Kania khawatir saat melihat mata sembab putri mereka.

Dan Kania menghabiskan sisa waktu hari ini menangis dan berkeluh-kesah dengan Reno sebagai pendengarnya.

****

Btw, aku kurang suka sama chapter ini soalnya kayak kurang dapet feel-nya :(

Aku berkali-kali ngetik ulang, tapi tetep nggak dapet-dapet.

Nanti coba aku revisi kalau ada waktu luang.

Hehe bye!

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now