DUA PULUH ENAM

24.8K 1.6K 4
                                    

Tidak terhindarkan, wajah Kania memanas sehingga kulitnya yang putih berubah warna menjadi merah. Jika dibandingkan dengan warna tomat, maka itu akan terlihat sama persis. Debaran jantung yang menggila tak kunjung usai. Hanya Kania yang menderita dalam situasi ini.

Cowok yang berada di depan Kania tidak bisa menahan senyumnya. Wajahnya yang berkeringat kian tampan saat sudut bibirnya tertarik ke atas. Dia memeluk Kania, menenggelamkan kepala cewek itu di dada bidangnya. Kania malu, dan Bara cukup mengerti hal itu.

"Gimana perut lo? Masih sakit?" tanya Bara. Dia tidak akan membahas apa yang terjadi tadi, sekarang saja wajah cewek itu sudah panas, bisa gosong kalau dia membahas hal itu.

Kania, yang berada dalam dekapan Bara, menggelengkan kepalanya pelan. Rasanya sedikit lega sebab Bara tidak berusaha melihat wajahnya yang merah. Setelah dipikir-pikir cowok itu cukup pengertian. Ah tidak! Bukankah ini yang dinamakan modus? Seharusnya cowok itu langsung pergi bukannya malah memeluknya seperti ini, itu hanya membuat Kania semakin berdebar.

"Apa Reval beneran nyariin gue?" Suara berat Bara kembali memasuki telinga Kania.

"Enggak." Pada akhirnya Kania memilih jujur.

"Berarti tadi lo sengaja, kan?"

"Iya."

"Kenapa?" Bara mempertanyakan ulang bertanyaan yang beberapa waktu lalu sempat ia tanyakan.

Kenapa?

Kania diam sesaat. Dia juga tidak tahu mengapa ia sengaja menggagalkan rencana Bara yang hendak mencium cewek lain. Ada perasaan tidak rela dan kesal yang sempat Kania rasakan. Tapi apa itu? Kenapa ia bisa merasakan itu? Ada sesuatu dalam diri Kania yang mengatakan itu adalah rasa cemburu, tapi Kania dengan tegas menolaknya. Dia tidak memiliki perasaan apa pun pada Bara, mengapa ia harus cemburu?

Tidak masuk akal.

Jadi, Kania memilih menjawab dengan asal, "Iseng."

Bara berhenti membahas topik itu. Dia tahu, dia tidak akan mendapat jawaban seperti apa yang dia inginkan. Karena akan sia-sia, jadi Bara membahas topik lain. "Besok SMA Angkasa tanding. Mungkin lo bakal ketemu Rion sama temen-temennya. Kemungkinan Adeline juga dateng jadi supporter. Jadi besok lo harus sama gue terus, biar dia nggak bisa cari masalah."

Rion anak basket sementara teman-temannya termasuk Adeline adalah supporter. Sebenarnya Adeline tidak benar-benar berniat menjadi supporter. Cewek seperti dia tidak mungkin mau teriak-teriak seperti orang gila. Dia pasti hanya menjadikan itu alasan untuk bisa bolos sekolah dan melihat Bara.

Kania tidak langsung menjawab. Dia sibuk memikirkan soal cewek bernama Chika, nama yang tadi ia dengar di UKS. "Siapa Chika?" Sudah Kania bilang, mulutnya sangat suka bicara dengan sendirinya. Pertanyaan itu lolos begitu saja!

Bara mengernyit, tetapi dengan santai menjawab, "pacar gue." Tangannya tanpa sadar mengelus puncak kepala Kania. "Kenapa?"

"Nanya aja, nggak boleh?"

"Pertanyaan lo kayak lagi mastiin selingkuhan gue."

Kania melepaskan diri dari pelukan Bara. Dia mendongak, menatap cowok itu. "Lo aja yang mikir begitu." Dengan dua tangan dia mendorong dada Bara menjauh, memberi jarak diantara mereka. "Gue cabut." Kania lantas menggerakan kakinya, berjalan pergi.

Bara mengejar Kania dan dalam waktu singkat sudah berada di sampingnya. Cowok itu tidak ragu untuk meraih tangannya, menggenggamnya dengan erat seperti tidak ingin tangan mereka dipisahkan. Kania melirik sekilas tangan mereka yang saling bertautan, lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang