DUA PULUH

28.4K 1.8K 12
                                    

Setelah acara selesei, Kania berniat langsung ke rumah Selena. Ia melihat jam pada layar ponselnya, sudah jam setengah sepuluh. Awalnya ia mengira pesta ulang tahun Shena tidak akan menghabiskan waktu lama, tapi ternyata ia salah. Kania mengedarkan pandangannya, mencari sosok Bara yang entah hilang ke mana.

"Kania!" Suara seorang cewek datang dari arah selatan. Dengan senyum tipis di wajahnya yang polos, Hana mendekati Kania seorang diri. Rambut sebahunya bergoyang seirama dengan langkah kakinya. Setelah berada di hadapan Kania, senyum cewek itu kian melebar. Itu senyum yang tulus. "Nyari Bara, ya?"

Kania tidak bereaksi. Ia malah memandang ke arah lain, saking enggannya melihat Hana.

Sekali lagi, Hana tersenyum meski Kania menganggapnya angin lalu. Ia berjalan sedikit ke samping Kania, kepalanya mendongak ke atas, melihat bintang-bintang yang terlihat indah di langit yang gelap. "Di sekolah ... kenapa lo bully Ratih?" Hana bertanya dengan suara pelan. "Ratih cuma punya ayah. Ayahnya pemabuk dan dia sering dipukulin," lanjutnya.

Beberapa hari lalu Hana mengunjungi rumah Ratih. Di sana ada kejadian yang tak terduga, yang membuatnya terkejut bukan main. Di depan matanya, Ratih dipukuli oleh ayahnya sendiri dengan botol alkohol. Ayah Ratih terus berkata kasar hingga membuat Hana tambah bersimpati pada cewek malang itu. Di rumah maupun di sekolah sama saja. Sama-sama seperti hidup di neraka. Ratih bertahan sejauh ini. Dia bukan gadis lemah, tetapi gadis paling kuat yang pernah Hana lihat.

Hana berhenti memandang bintang, kini pandangannya beralih ke samping, melihat profil Kania yang sangat menawan dari sudut ini. "Jadi gue mohon, berhenti buli Ratih. Hidup dia terlalu berat." Permohonan yang tulus terkandung dalam matanya.

Akhirnya Kania merespon. Ia kini menatap tepat pada manik mata Hana, lantas mendengus kasar. Tubuhnya bergerak menghadap Hana. Tawa kecil penuh ejekan terdengar dari mulutnya. "Udah takdirnya begitu. Lagian, hidup itu emang berat," jawab Kania enteng. Ia sama sekali tak merasa simpati.

"Gue tau lo orang baik, Ka. Gue mo-"

"Cenayang lo? Tau apa lo tentang gue?" potong Kania. Kali ini, ia menunjukkan wajah serius. Terdapat banyak emosi yang tak terbaca dalam sorot matanya. "Karena lo sepupu Bara, jangan pikir lo bisa bebas ngomong apa aja ke gue. Gue bisa pukul lo sekarang kalau lo nggak pergi dari hadapan gue sekarang juga."

Hana menghebuskan napas. Karena tak ingin ada keributan di pesta ulang tahun Shena, ia memilih untuk pergi.

Kania melonggarkan kepalan tangannya yang sempat menguat. Napasnya yang sempat tak teratur karena emosi, kini kembali normal. Ia memejamkan mata sesaat, berusaha untuk menyurutkan emosinya yang sempat naik. Namun, sebelum benar-benar tenang, Kania dikejutkan dengan tangan seseorang yang memegang pundaknya. Bara.

"Kenapa? Kok diem?" tanya Bara dengan alis terangkat sebelah. Cowok itu sudah mengganti pakaiannya menjadi lebih santai.

Kania memutar tubuhnya, membuat ia berdiri berhadapan dengan Bara. Kepalanya menggeleng pelan. "Nggak pa-pa," ucapnya. Ia kemudian kembali melihat jam pada layar ponselnya. "Gue harus pulang sekarang."

"Biar gue anter."

Kania kembali menggeleng. Kali ini dengan kecepatan dua kali lipat. "Gue naik taksi aja," sahutnya. "Temenin gue pamitan sama yang lain."

"Mau ke mana lo?" Pada dasarnya Bara dilahirkan sebagai cowok yang super peka. Hal seperti ini tentu bisa ia tebak dengan kepekaannya.

"Ke mana pun gue, nggak ada urusannya sama lo."

"Menurut lo, nyokap gue bakal bereaksi kayak gimana setelah tau gue ngebiarin lo pulang sendirian?"

Kania menatap Bara dengan bibir terkatup selama lima detik. Wajahnya sedikit ragu-ragu. "Lo kan anak nakal. Kenapa nurut banget sama nyokap?" tanya Kania, murni penasaran.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now