DUA PULUH EMPAT

24.6K 1.7K 24
                                    

Untuk beberapa saat, baik Bara maupun Kania sama-sama tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing sehingga tanpa sadar mengabaikan semua teman mereka.

Baru saja Kania mengatakan apa yang ingin ia katakan sedari dulu. Itu memang benar, ia kesal karena harus menjadi pacar dari cowok seberengsek Bara, dan hari ini ia lega karena berhasil mengatakannya dengan lancar.

Sementara Bara, cowok itu merasakan sesuatu yang aneh menyerang dadanya. Dia tidak bisa mendeskripsikan seperti apa rasanya, itu benar-benar tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Permintaan maafnya ditolak, tetapi mengapa ia malah merasa cintanya lah yang ditolak? Bara berusaha mengabaikan pikirannya yang tidak masuk akal. Cinta? Itu menggelikan.

"Main cium-cium aja di depan mata suci seorang jomblo! Untung cium pipi doang, kalau bibir udah buta mendadak mungkin gue," cetus Reval setelah kembali memandang dua insan yang baru saja memperlihatkan adegan yang dilarang keras dilihat oleh jomblo seperti dirinya.

Dipon, salah satu teman Bara, tertawa sambil mengamati dua orang itu. "Setelah gue liat lo, gue nggak yakin lo nggak pernah punya pacar. Atau jangan-jangan lo kalau pacaran suka backstreet?" tanya cowok itu pada Kania. Sejujurnya, ia ragu ketika tahu bahwa Bara adalah pacar pertama Kania. Itu agak mustahil untuk cewek secantik Kania. Mungkin cewek itu memiliki selera yang tinggi. Tetapi, kalau pun demikian, kenapa dia malah memilih Bara?  Bara memang memiliki wajah yang mendukung, tetapi Kania pasti tahu bahwa dia tidak akan bisa menjadi satu-satunya pacar Bara. Atau pesona Bara terlalu kuat sampai Kania meliriknya? Ah... itu bukan urusannya, tetapi Dipon sangat ingin mengetahuinya.

Bara menatap Dipon dengan sorot sinis. "Nggak usah sok nebak-nebak hal yang nggak masuk akal kayak gitu," jawabnya, mewakilkan Kania

Kania hanya diam. Jika Bara tidak menjawabnya, maka Kania yang akan melakukannya dengan jawaban yang persis seperti itu.

Alin tertarik dengan obrolan. Tubuhnya sedikit condong ke depan, menunjukkan sosoknya yang mungil agar terlihat oleh orang-orang yang duduk di seberangnya. "Dulu, waktu awal masuk SMA, ada banyak banget kakak kelas yang deketin Kania, tapi waktu dijedor Kania tolak semuanya. Gue sempet ngira dia suka sesama jenis."

Alin mengingat saat awal-awal mereka masuk SMA. Waktu Masa Orientasi Sekolah, nama Kania langsung populer seantero sekolah. Pada awalnya, kepopulerannya didapat bukan karena wajahnya yang cantik, tetapi karena ia membuat salah satu osis babak belur. Dari situlah orang-orang mulai mencari tahu siapa yang berani melakukan hal seberani itu pada osis. Setelah tahu bahwa pelakunya adalah seorang cewek yang mempunyai wajah yang cantik, tidak ada satu pun orang yang menyalahkannya lagi. Bahkan, orang-orang berbalik membelanya dan mengatakan hal buruk tentang osis yang dihajar itu. Dari situlah banyak kakak kelas juga teman satu angkatan yang mulai gencar mendekatinya, bahkan banyak juga yang menembaknya di depan banyak orang. Masa-masa itu adalah masa paling legendaris di SMA Venus. Tetapi seiring berjalannya waktu, cowok yang mendekati Kania semakin sedikit. Itu bukan karena dia tidak cantik lagi, tapi karena Kania selalu bersikap dingin sehingga membuat cowok-cowok itu lelah dan putus asa. Apalagi fakta bahwa Kania melakukan penindasan di sekolah membuat mereka harus berpikir dua kali untuk mendekatinya.

"Gue malah ngira dia pacaran sama si Reno. Habisnya mereka deket banget!" tambah Erna, yang juga mulai tertarik dengan topik obrolan.

"Bisa dibilang, untuk urusan pacaran Kania itu pemula diantara pemula. Bibir Kania masih suci, nggak ada yang bisa ngambil ciuman pertamanya." Alin tertawa karena diantara gengnya, hanya Kania yang belum melakukan ciuman pertama. Namun, beberapa detik kemudian tawanya surut. Ia menatap ragu ke arah Bara. "Eh, tapi nggak tau sekarang?"

Kania memelototi Alin, memperingati cewek itu agar tidak bicara lebih banyak lagi.

Lidya mengerutkan keningnya. "Hah? Bukannya udah pernah ya? Bukannya dia pernah nyium Reno waktu mabuk?" Lidya masih ingat betul kejadian saat Kania pertama kali minum alkohol. Pada saat itu toleransi alkohol Kania masih rendah sehingga hanya beberapa teguk sudah membuat dia mabuk berat. Dan teman Kania bernama Reno datang sambil marah-marah. Kania mencium Reno tepat di bibir untuk menghentikan cowok itu bicara lebih banyak.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now