TUJUH

34.9K 2.3K 12
                                    

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Suara jangkrit beradu dengan suara pohon yang digerakan oleh angin, menjadikan satu-satunya suara alam yang mengisi keheningan malam ini.

Tangan Bara terulur memutar knop pintu sebuah ruangan yang terletak di ujung gedung. Pintu berwarna coklat itu terbuka dan hal pertama yang dilihatnya adalah seragam basah SMA Venus yang dilipat rapi di atas meja, serta ransel hitam yang juga basah. Itu semua milik Kania, yang sepertinya lupa untuk dibawa pulang.

Bara melangkah masuk ke dalam ruangan, mengambil ranselnya sendiri dan beberapa barang. Ia juga membawa seragam serta ransel milik Kania, dan berniat mengembalikannya besok. Kemudian, cowok itu bersiap untuk pulang.

"Gue cabut duluan," ucap Bara pada teman-temannya yang masih sibuk melakulan aktivitas mereka; bermain catur, bermain kartu, dan ada pula yang tidur di atas beberapa kursi yang dijejer.

"Tumben pulang duluan," celetuk Aldi, namun pandangannya masih fokus pada bidak catur di depannya.

Bara menaiki motornya dan memakai helmnya, lantas ia menoleh. "Gue ada urusan di rumah." Bara tak berniat bicara lebih lanjut, ia segera menghidupkan mesin motornya dan melaju pergi ke luar gedung.

Di sisi lain, Kania dan Reno berada di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi. Kania turun dari motor Reno dan melepas hoodie yang terikat di pinggangnya. Kania mengembalikkan hoodie itu lantas hendak memasuki gerbang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, Reno dengan cepat mencekal pergelangan tangannya hingga membuat Kania berbalik.

"Kalau habis dianterin pulang itu bilang 'terimakasih'"

"Makasih."

Reno mendengus mendengar jawaban Kania.

Sudah menghabiskan waktu bersama Kania cukup lama membuat Reno paham betul bagaimana Kania. Kania adalah orang yang tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain, bahkan perasaannya sendiri. Tetapi dia sangat memperhatikan pandangan orang lain terhadapnya. Dia hanya tidak ingin dianggap lemah.

"Sekarang gue pacar Bara," ungkap Kania dengan raut wajah santai.

"Ah?"

"Sekarang gue pacar Bara," ulang Kania.

Reno tampak terkejut dan heran. Dengan kening mengkerut ia menatap Kania dengan serius. "Lo gila? Pacaran sama Bara? Bukannya lo tau Bara Tangkasa orangnya kayak apa? Ini pertama kalinya lo pacaran, ka? Seharusnya jangan pilih yang brengsek."

"Gue nggak setolol itu. Ada alasannya kenapa gue jadi pacar Bara."

Reno masih menatap Kania dengan serius. Setelah mendengar apa yang diucapkan Kania, hembusan napas pelan terdengar. Kepala Reno mengangguk pelan.

"Gue tau lo nggak akan ngelakuin hal sebodoh itu tanpa alasan. Tapi gue harap lo jangan pernah suka sama Bara. Gue nggak mau lo sakit hati."

Kania tersenyum tipis dan hanya mengangguk sebagai tanggapan.

Sekali lagi, Reno menghembuskan napas dengan pelan. "Barang yang lo pesen masih ada di rumah gue, besok gue bawain."

Setelah mendapat respon anggukan dari Kania, Reno menghidupkan kembali mesin motornya dan melaju menuju rumahnya yang berada tepat di sebelah rumah Kania.

Ketika Kania sudah berada dalam rumahnya, ia mendengar suara televisi yang masih menyala di ruang tengah. Segera kakinya melangkah menuju ruang tengah. Hal pertama yang ia lihat adalah Lucy yang tidur di sofa dengan remot yang ada digenggamannya. Kening Kania mengkerut bingung, lantas ia melirik jam dinding.

"Ngapain dia tidur di sini?" Kania bergumam. Ia mendekati Lucy dan menggoyang-goyangkan tubuh Lucy. "Bangun, tidur di kamar lo. Di sini dingin." Kania menghentikan gerakan tangannya ketika Lucy membuka matanya dan terkesiap hingga terduduk.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now