TIGA PULUH LIMA

27.1K 1.6K 9
                                    

"Puas?"

Adeline terpaku ditempat, menganggumi Kania yang masih bisa memasang tampang datar dalam kondisi seperti ini. Hanya satu kata yang dapat mewakilkan sosok Kania saat ini: keren.

Kala Kania bersiap mengambil langkah pergi, Adeline mendapat kembali kesadarannya, ia buru-buru berkata, "Maaf." Itu kata yang pantang ia ucapkan, namun hari ini, ia mengucapkannya dengan tulus.

Kania menoleh lagi, agak terkejut mendengar kata 'maaf' yang keluar dari mulut seorang Adeline, si cewek kaya yang terkenal angkuh itu.

"Gue nggak bisa ngelepasin Bara karena gue ngelakuin itu untuk pertama kalinya sama dia." Adeline menatap punggung Kania, berharap cewek itu mau mendengarkan ceritanya. "Tapi setelah gue pikirin semuanya baik-baik, perasaan gue ke Bara bukan rasa suka. Gue cuma nggak rela, orang yang udah ngambil mahkota berharga gue, dimiliki orang lain.... Sampai sekarang pun perasaan nggak rela itu masih ada sampai-sampai gue takut kalau seandainya Bara takluk sama cewek lain. Satu-satunya cewek yang kemungkinan naklukin Bara itu elo. Karena itu, gue selalu gangguin lo."

Kania tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam situasi ini. Dia bingung, apa seharusnya ia pergi atau tetap mendengarkan Adeline di sini.

"Sekarang gue pengin lepas dari semua itu. Capek, gue nggak bisa hidup tenang dan selalu was-was setiap kali Bara punya cewek baru." Adeline kembali melihat punggung Kania, tatapan penuh harap itu senantiasa ia tampilkan. "Lo mau kan, bantuin gue?"

Setelah apa yang Adeline lakukan pada Kania, bagaimana bisa cewek itu mengatakan kalimat terakhirnya dengan enteng? Kania membalikkan tubuhnya, menatap Adeline dengan kening mengkerut. "Apa?"

"Seenggaknya kita harus jadi teman untuk memulai, kan? Gue... gue aslinya nggak nyebelin, kok!" Adeline tersenyum. Itu pertama kalinya Kania melihat senyum tulusnya. "Lo mau, kan, jadi temen gue?"

"Nggak," jawab cepat Kania dalam kurun waktu kurang dari sedetik. "Gue nggak tertarik." Ia berbalik, lantas mulai melangkahkan kakinya.

Adeline membenahi pakaiannya, merapikan rambutnya yang berantakan, lalu bangkit dan segera mengikuti langkah Kania. "Gue tau lo bakal nolak. Tapi gue itu Adeline, nggak mungkin nyerah semudah itu."

Adeline terus bercoleteh membuat Kania heran dengan sosok Adeline yang sebenarnya. Kania terbiasa dengan Adeline si cewek angkuh, bukan Adeline si cerewet. Namun, Kania tidak berniat menyuruh cewek itu berhenti bicara, hitung-hitung latihan kesabaran.

"Oh iya, soal Chesa... dia beneran hamil. Banyak anak-anak SMA Angkasa yang bilang pernah ngeliat Chesa lagi sama Bara. Gue juga pernah liat Bara jemput Chesa waktu pulang sekolah. Banyak yang bilang bapak dari anak Chesa itu Bara. Tapi itu sih masih belum jelas kebenarannya."

Kania tidak bergeming, tetapi ia masih menunggu Adeline bicara lebih lanjut.

"Mungkin lo bakal bilang gue aneh karena berubah secepet ini. Tapi, gue kasih wejangan ke lo sebagai calon temen. Sesuka apa pun lo sama Bara, jangan pernah deh ngerelain tubuh lo untuk dia."

Kania mendengus. "Gue nggak setolol lo."

"Wah, bagus kalau gitu." Adeline sama sekali tidak tersinggung. Sejak ia sadar apa yang telah dilakukannya di masa lalu, ia setuju bahwa ia memang tolol.
Cewek itu berpikir sejenak sebelum kembali bicara, "Kalau seandainya orang yang hamilin Chesa itu beneran Bara, lo bakal gimana?"

"Bukan urusan lo."

"Kayaknya tiga kata itu senjata andalan lo banget, ya?"

Kania tidak menyahut. Dia sedang memikirkan apa yang dikatakan Adeline. Jika seandainya memang benar ayah dari anak Chesa adalah Bara, tentu saja ia akan sedih. Bukan karena Bara menghamili cewek lain, tapi karena cewek yang dihamili adalah gebetan sahabatnya. Yah... setidaknya perasaan sedih untuk Reno lebih dominan dari pada perasaan sedih untuk alasan lainnya.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now