EMPAT BELAS

25.8K 1.7K 16
                                    

"Udah berapa kali saya bilang, saya melawan sebagai bentuk pertahanan diri."

"Setelah tau mereka ngikutin kamu, kenapa kamu malah berbelok ke gang buntu dan bukannya cari pertolongan?"

Kania mendesah frustrasi sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari-jari. Mata terpejam sesaat, berusaha menetralkan emosinya yang mulai tidak stabil. Ia tidak bisa mengatakan apa pun untuk membalas pertanyaan polisi tersebut. Pada akhirnya Kania memilih diam sambil bersandar pada sandaran kursi. Matanya sesekali melirik ke arah empat cowok yang ada di samping kanannya.

Sungguh sial! Polisi memergokinya ketika selesai berkelahi di gang buntu dekat Orange Cafe. Dengan sedikit perdebatan kecil, Kania dan empat cowok SMA Angkasa itu akhirnya berhasil digiring ke kantor polisi. Sesampainya di kantor polisi, Kania kembali berdebat dengan polisi yang menanganinya.

"Dengan ngarahin kita ke gang buntu, itu tandanya dia juga nyari masalah ke kita," celetuk Rion yang duduk tepat di samping Kania.

"Kalian juga sama saja! Untuk apa kalian mengikuti perempuan yang nggak kalian kenal sampai berniat nyerang dia?"

"Kan saya cuma 'niat' doang mau nyerang duluan, tapi kenyataannya yang nyerang duluan dia bukan saya."

Kania mengerutkan alis lantaran Rion mencoba memojokkannya. "Itu udah jelas. Nggak mungkin saya nunggu dibuat bonyok dulu baru ngelawan."

"Sudah! Remaja-remaja seperti kalian ini yang buat resah masyarakat. Anak SMA harusnya belajar bukannya pamer otot sana-sini." Polisi itu memijat pelipisnya dengan dua jari. Menghadapi remaja-remaja seperti mereka memang selalu sukses membuatnya pening. "Telpon wali kalian, setelah itu kalian bisa pergi."

Keempat siswa dari SMA Angkasa itu menatap satu sama lain ketika diminta untuk menelpon wali masing-masing. Mungkin Rion masih memiliki nyali menghadapi kedua orang tuanya, namun tidak dengan tiga cowok yang lain. Walau mereka sangat beringas, namun tetap saja mereka masih memiliki rasa takut terhadap orang tua.

Sementara itu, Kania menghembuskan napas pelan dan memilih tetap menggenggam ponselnya tanpa berniat menghubungi orang tuanya. Wajahnya terlihat agak enggan. "Orang tua saya ada di luar kota," ucap Kania, masih dengan punggung yang bersandar.

"Ada puluhan remaja yang mengatakan kebohongan yang sama."

Kania langsung menegakkan tubuhnya. "Tapi saya bukan salah satunya," balasnya.

Orangtuanya memang berada di luar kota karena pekerjaan dan akan kembali beberapa minggu lagi. Selain itu, ia tidak memiliki kerabat lain yang bisa datang ke kantor polisi sebagai walinya.

"Nggak harus orangtua, kamu juga bisa menghubungi tante atau paman kamu."

"Nggak punya."

"Alasan doang, jangan dipercaya," celetuk Rion.

Polisi itu menegur Rion melalui tatapannya. "Sudah telpon wali kamu?"

Rion menghubungi ibunya melalui pesan. Ia menunjukkan isi pesan tersebut pada polisi. "Mama saya udah otw."

Polisi itu kembali menatap Kania. "Sebelum wali kamu datang, kamu nggak bisa pergi."

"Saya bilang, orang tua saya lagi ada di luar kota. Saya nggak punya kerabat lain. Kalau minta tolong tetangga mah namanya nyusahin."

Polisi itu hendak bicara, namun suara berat seorang pria membuatnya mengatupkan mulut kembali dan berdiri memberi hormat.

"Lho, Kania?"

Seorang pria berseragam polisi itu mendekati Kania. Pria itu memiliki kumis tipis yang sudah agak memutih. Ada beberapa kerutan di wajahnya serta lingkaran hitam dibawah mata yang tercetak agak samar. Kendati demikian, pria itu terlihat sangat gagah dan berkarisma kuat dengan tubuhnya yang jangkung dan tegak serta otot-otot lengannya yang sangat kekar.

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang