TIGA PULUH TUJUH

26.6K 1.6K 4
                                    

Suara bel pulang sekolah berbunyi. Seluruh siswa dan siswi bersiap untuk pulang. Kania melirik bangku Ratih yang kosong. Tentu saja, dalam kondisi mengenaskan seperti tadi, Ratih pulang lebih awal secara diam-diam. Cewek malang itu bahkan meninggalkan tas sekolahnya di kelas.

Bukan hanya bangku Ratih yang kosong, bangku Alci juga kosong. Si pemilik bangku pulang lebih awal dan dia membawa tas sekolahnya.

"Guys, gelangnya Alci ketinggalan." Alin menunjukkan gelang Alci yang tadi tertinggal di toilet, gelang yang sama yang membuat cewek itu murka kepada Ratih. "Kayaknya penting nih gelang, dia aja sampai marah sebegitunya waktu gelangnya putus."

"Siapa yang mau nganter gelangnya ke rumahnya? Atau kalau nggak ada yang mau nganter, gue bawa dulu aja kali, ya? Besok baru dibalikin."

"Kasih gue, biar gue ke rumahnya. Sekalian ngambil buku catatan sejarah gue yang dia pinjem." Kania menawarkan diri. Ia mengulurkan tangannya, meminta gelang itu.

Alin mengangguk dan memberikan gelang itu kepada Kania. "Oke, anterin ya. Gue cabut duluan, ada acara keluarga!" ucap Alin seraya berjalan dengan terburu-buru.

"Gaya lo acara keluarga!" seru Erna.

Alin cengengesan tapi ia tidak menyahut.

Selena, Kania, Lidya, dan Erna berjalan bersama keluar gedung sekolah. Banyak suara mengiringi langkah mereka hingga mereka harus berpisah di depan sekolah karena jemputan masing-masing.

Kania memasuki mobilnya. Di dalam sudah ada Lucy yang perhatiannya berada pada layar ponsel. "Pak Jodi, anter ke rumah Alci dulu, ya," pintanya pada sang supir.

"Siap, Non," sahut Pak Jodi.

Kania duduk tenang di dalam mobil, tidak berniat terlibat percakapan dengan Lucy, begitu pun sebaliknya. Kania memperhatikan gelang milik Alci—gelang rantai berwarna hitam dengan liontin berbentuk persegi panjang. Liontinnya tampak tak menarik dan sangat polos. Iseng, Kania melihat bagian belakang liontin. Hal yang mengejutkannya adalah terdapat ukiran 'B&A' di belakang liontin tersebut.

B...

Nama pertama berinisial B yang ada dalam benak Kania tentu saja Bara. Tapi pikiran Kania berhenti sampai di sana saat mobil berhenti tepat di depan rumah Alci. Setelah Kania turun dari mobil, Pak Jodi segera melajukan mobil kembali, mencari tempat parkir agar tidak menghalangi jalan.

Kania berjalan sedikit mendekati gerbang rumah. Ia menekan bel rumah dan menggu beberapa saat sebelum akhirnya gerbang terbuka. Bi Nunik, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Alci, tersenyum pada Kania, namun Kania bisa melihat kecemasan dalam wajahnya.

"Alci di rumah, Bi?"

"Iya, Non. Non Alci ada di rumah. Tapi lagi sama pacarnya."

Kania mengernyit mendengar kata 'pacar'. Lagi-lagi ia memikirkan soal Bara. Kecurigaannya kian bertambah kala malihat mobil Bara terparkir di halaman rumah Alci. Kania yakin itu memang mobil Bara, karena terdapat stiker yang Kania kenali yang ditempel di bagian belakang mobil. Namun Kania tidak menunjukkan reaksi apa pun di depan Bi Nunik. Ia bersikap biasa saja dan segera masuk setelah dipersilakan.

Setelah berjalan beberapa meter, Kania masuk lewat pintu utama rumah Alci. Rumah itu sangat besar, dan sangat sepi. Kania tidak heran lagi, Alci adalah anak tunggal. Ayahnya adalah seorang pembisnis yang sibuk dan Ibunya seorang dokter. Sementara sang kakek adalah seorang dermawan yang sering mengikuti acara amal di luar kota.

"Non Alci ada di kamar. Silakan duduk dulu Non Kania. Non Alci masih... sibuk."

Kania mengangguk dan duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Ruang tengah berada dekat dengan kamar Alci, sehingga di sini adalah tempat terbaik untuk menunggu Alci yang entah sedang apa di dalam kamar.

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now