DUA PULUH TIGA

24.6K 1.8K 40
                                    

Apakah tadi itu bisa disebut bertengkar? Bara menghembuskan napas sambil mengacak rambutnya frustrasi. Saat Kania pergi, ia tidak berusaha mengejar cewek itu. Bukannya tidak memiliki niat untuk mengejar, namun entah kenapa pikirannya mendadak kosong, membatu ditempatnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Disaat kesadaraannya kembali, itu terlambat, Kania sudah hilang dari pandangannya.

Sekarang Bara berada di kantin SMA Venus bersama dengan teman-temannya. Disaat yang lain sibuk melempar candaan atau mengobrol hal random yang berakhir dengan suara tawa menggelegar, Bara memilih untuk tidak menimbrung dalam obrolan itu. Pikirannya jauh.

"Gue kira gosip tentang Kania pacaran sama Bara Tangakasa itu bohong. Ternyata itu bener. Sial, padahal gue mau nembak Kania minggu depan. Udah berhari-hari mikirin kata-kata yang bagus biar dia mau nerima gue."

Suara itu terdengar agak samar, berasal dari seorang cowok yang baru saja memasuki area kantin. Sepertinya, baik cowok itu maupun tiga temannya yang lain tidak menyadari keberadaan Bara di sana. Mereka sibuk bicara satu sama lain tanpa peduli dengan sekitarnya.

"Halah! Mau lo siapin kata-kata dari sepuluh bahasa pun, Kania nggak akan mau sama butiran upil kayak lo," imbuh cowok lainnya.

"Setuju! Lo nggak liat apa, si Bastian, yang anak sultan dan tampangnya cakep aja ditolak. Apalagi lo!"

"Lagian, cari cewek yang baik-baik aja. Lo nggak akan bisa bahagia kalau pacaran sama cewek modelan Kania."

Keempat cowok itu duduk di meja yang letaknya berjarak beberapa meter dari meja Bara, melewati sekitar dua meja di samping kanan. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh, Bara masih bisa mendengar obrolan mereka meski terdengar agak samar.

"Kania kan cantik, bodinya bagus. Tadi lo pada liat kan? Waktu dia duduk di meja, roknya pendek banget, bro. Gemes gue pengen sekalian gue lepas." Dengan wajah sedikit bernafsu, cowok itu mulai membicarakan hal yang kurang ajar. "Kalau jadi pacarnya pasti enak. Bisa grepe-grepe tiap hari," lanjutnya.

Teman-teman Bara yang pada awalnya berisik, kini langsung diam tanpa ada seorang pun yang berani bicara. Mereka mendengarnya. Bahkan saat suasana kantin ramai seperti saat ini, mereka tetap bisa mendengarnya. Dan mungkin, ada beberapa dari pengunjung kantin yang juga mendengarnya. Tetapi mereka memilih diam, tidak berani ikut campur.

Rahang Bara mengeras. Tatapan tajamnya mengarah ke meja empat orang cowok itu. Ketahuilah, tangannya sudah terkepal sedari tadi, siap melayangkan tinju jika mereka bicara lebih dari ini.

"Kira-kira si Bara sama Kania udah ngapain aja, ya? Pasti udah mantap-matap. Nggak mungkin enggak, kan? Cowok kayak Bara Tangkasa enggak mungkin nggak ngelakuin itu sama Kania yang suka pamer bodi."

Bara bersiap untuk menghampiri mereka, namun ketika ia hendak berdiri, Rio yang duduk di sebelahnya menahan bahunya. Cowok itu sedikit mendekatkan wajahnya. "Bro, ini bukan sekolah kita. Kalau lo cari masalah sama anak sekolah ini, bahaya buat tim kita," bisiknya. Ia lantas melanjutkan, "Tahan sedikit emosi lo. Hajar waktu lagi di luar sekolah."

Bara menepis kasar tangan Rio yang ada di bahunya. Niatnya untuk menghajar empat cowok itu terurung. Perkataan Rio ada benarnya, namun bukan berarti ia membiarkan empat cowok itu. Bara berjanji akan menyelesaikan urusannya dengan mereka ketika berada di luar sekolah nanti.

"Cabut aja lah dari sini. Populasi banci SMA Venus kebanyakan di sini," usul Reval sambil sedikit menyindir.

Anak SMA Venus yang duduk tepat di sebelah meja mereka hanya bisa diam ketika mendengar hinaan itu. Berurusan dengan Bara bukanlah pilihan yang tepat untuk siswa biasa sepertinya. Bahkan, pentolan SMA Venus mungkin belum bisa menandingi Bara Tangakasa yang sekalinya baku hantam selalu totalitas. Meninggalkan jejak yang tidak akan bisa dilupakan oleh lawannya. Contoh: membuat gigi lawanya ompong.

IDENTITY (END) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora