DUA PULUH DELAPAN

23.7K 1.5K 24
                                    

Hari ini adalah hari ketiga turnamen basket diadakan. Seperti biasa di halaman depan SMA Venus pagi-pagi sudah ramai. Apalagi adanya supporter SMA Angkasa yang sudah terkenal rusuh dari tahun-tahun sebelumnya. Pagi ini pun-bahkan sebelum tim SMA Angkasa bertanding-mereka sudah berteriak menyemangati tim sekolah mereka sampai-sampai mereka berulang kali ditegur oleh guru pembina dari SMA-nya. Anak dari SMA lain hanya bisa menggeleng sambil berjalan menjauh, mengamankan telinga mereka yang bisa saja kehilangan fungsinya jika berlama-lama berada di dekat supporter bar-bar SMA Angkasa.

Dari sekumpulan supporter SMA Angkasa, ada satu anggota yang berdiri terpisah. Dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya, cewek itu menampilkan sikap angkuh. Fokusnya hanya berada pada ponsel yang ada di tangannya. Orang itu tidak lain adalah Adeline.

Sementara itu, Kania dan teman-temannya juga berada di halaman depan, memperhatikan Adeline yang kini menjadi bahan gunjingan orang-orang disekitar mereka.

"Dia yang namanya Adeline, kan?" tanya Selena sambil menunjuk Adeline dengan dagunya.

Lidya mengangguk. "Iya. Dia diem aja tapi aura songongnya kerasa," komentarnya lantas tertawa.

"Eh, Bara ke sini!" celetuk Erna ketika melihat Bara berjalan mendekat. Dia langsung menyenggol bahu Kania, bibirnya menunjukkan senyum nakal untuk menggoda Kania.

Kania kontan melihat ke arah Bara. Benar saja, cowok itu kini berjalan sendirian ke arahnya. Saat tatapan mereka bertemu, Kania dengan sengaja mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Gue ke toilet dulu," ujar Kania, lalu pergi tanpa menunggu jawaban teman-temannya.

Sudah Kania putuskan sejak kemarin malam untuk kembali bersikap seperti awal-awal pacaran; bicara seperlunya dan berusaha untuk tidak bersentuhan fisik. Membentang kembali jarak antara dirinya dan Bara.

Semalaman Kania memikirkan apa yang Reno katakan. Katanya, ia menyukai Bara. Kania merasa itu mustahil dan sangat tidak masuk akal. Tetapi memikirkannya lagi, Kania menjadi ragu. Apa dia benar-benar menyukai Bara? Jika itu benar, karena apa?

Nyaman?

Jika nyaman adalah alasannya, Kania memilih untuk berhenti menyukainya cowok itu. Ada seseorang yang mengatakan "nyaman itu jebakan." Ya, jika merasa nyaman bersama Bara, maka kemungkinan besar itu hanya jebakan cowok itu untuk membuatnya sakit hati di akhir. Kania tidak mau merasakan hal merepotkan semacam itu.

Tapi sekali lagi, Kania masih ragu. Dia belum benar-benar memastikannya. Namun ia tidak memiliki niatan untuk memastikan hal itu dan memilih mengantisipasinya dengan cara bersikap seperti awal-awal pacaran.

Sementara itu, kening Bara mengkerut ketika melihat Kania yang sengaja mengabaikannya, bahkan cewek itu juga menghindarinya. Langkah Bara dipercepat, mengejar Kania yang mulai jauh. Tidak butuh waktu lama, ia berhasil meraih tangan Kania dan menariknya, membuat cewek itu mau tak mau berbalik menghadapnya.

"Kenapa?" Bara langsung bertanya, mengabaikan ekspresi Kania yang nampak enggan berhadapan dengannya.

"Nggak pa-pa," sahut Kania sambil menyingkirkan tangan Bara.

Bara ingin bicara lagi, namun melihat ada banyak pasang mata yang melihat ke arah mereka, ia memilih untuk membawa Kania ke tempat yang pas untuk mereka bicara. Sampai di halaman belakang-yang pagi ini benar-benar sepi-Bara melepaskan cekalan tangannya. Ia melirik pergelangan tangan Kania yang memerah, namun ia mengabaikannya dan memilih fokus pada cewek itu.

"Lo kenapa?" Bara bertanya lagi, kali ini dengan sedikit keras.

"Gue bilang nggak pa-pa."

"Terus kenapa lo menghindar?"

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now