ENAM PULUH SATU (END)

62.6K 2.3K 77
                                    

"Barang-barang kamu yang ada di lemari itu nggak mau kamu bawa?" Fara menunjuk lemari tempat koleksi benda-benda lucu Kania disimpan.

Kania mengikuti arah tunjuk Fara dan menggeleng lemah setelahnya.

Fara mengesah pelan sambil menatap Kania. "Kamu kenapa, sih? Dari seminggu yang lalu keliatan lemes banget, kurang semangat."

"Nggak, nggak pa-pa."

"Kamu nggak mau kuliah di Australia?" tanya Fara. Kania terlihat tak bersemangat beberapa hari terakhir, bahkan Fara sering melihat Kania melamun. Tentu saja hal itu membuatnya khawatir.

Kania sudah dinyatakan lulus dengan hasil memuaskan, dan besok pagi adalah hari keberangkatannya ke Autralia. Kini ia tengah mem-packing barang-barang yang akan dibawanya besok.

Kania menggeleng cepat. "Enggak, bukan gitu. Aku cuma lagi banyak pikiran aja." Dengan mata terpejam, Kania membuang napas berat.

"Kamu nggak mau cerita ke Mama?"

Kania menggeleng. "Aku malu, soalnya ini tentang Bara."

"Kamu sama Lucy sama aja. Padahal nggak pa-pa, lho, cerita soal pacar ke Mama. Pakai malu segala."

Kania hanya tersenyum tipis tanpa mengatakan apa-apa.

"Semuanya udah di masukin, kalau ada yang mau kamu bawa lagi, kamu taruh di koper merah itu, ya." Fara menutup koper berukuran besar. "Tidurnya jangan terlalu larut biar besok kondisi kamu fit."

Kania mengangguk.

Fara beranjak pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Kania yang kini sendirian di dalam kamar bergerak manaruh koper dan barang-barang lainnya di sebelah lemari agar tidak menghalangi jalan. Ketika ia hendak berjalan ke ranjang, matanya tiba-tiba tertarik melihat ke lemari yang berisi koleksi barang-barang lucunya. Akhirnya ia membuka lemari itu, mengambil boneka keramik berbentuk kelinci yang diberikan Bara. Kania berjalan kembali ke samping lemari dan memasukan boneka keramik itu ke dalam koper merah kecil.

Berjalan ke ranjang, Kania merebahkan tubuhnya di sana. Tangannya meraba-raba seprai, mencari-cari letak ponselnya berada. Setelah ponsel berhasil digenggamnya, Kania kemudian mengecek semua pesan masuk. Tapi tidak ada satu pun pesan dari Bara.

Kania kecewa, dia menaruh kembali ponselnya. Padahal besok ia berangkat ke Australia, tapi hubungan dengan Bara belum saja membaik.

Kania membalikkan tubuhnya menjadi tengkurap dengan wajah menghadap ke samping kiri. Entah sejak kapan air matanya menetes, Kania tidak sadar bantalnya sudah basah karena air mata.

***

Paginya, Kania bangun dengan mata sebab. Dia mengesah pelan saat melihat pantulan dirinya di cermin, sedikit menyesal karena menangis semalam. Setelah mandi dan berpakaian, Kania tak lupa memoles wajahnya dengan makeup tipis, namun cukup untuk menutupi mata sembabnya. Setelah selesai dengan penampilannya, Kania segera membawa kopernya ke bawah.

"Lucy, tolong bantu bawain tas gue yang warna hitam, dong," mohon Kania saat berpapasan dengan Lucy di depan kamar.

"Ogah," jawab Lucy sembari memakan apel merahnya. Cewek itu berjalan tanpa menoleh sedikit pun.

Kania menahan diri untuk tidak memaki. Untungnya ada Bi Inah yang datang ke kamarnya dan membantunya. "Non Kania sarapan dulu saja, kopernya biar Bibi yang bawa ke bawah," ucap Bi Inah.

Kania mengangguk dan tidak lupa mengucapkan terimakasih sebelum berjalan ke lantai bawah. Dia menuju ruang makan, di sana sudah ada Fara, David, Lucy, dan... Reno.

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang