DUA PULUH SEMBILAN

23.6K 1.6K 12
                                    

Turnamen hari ketiga berlalu begitu saja, dan berlajut ke hari berikutnya. Bara belum menyelesaikan masalahnya dengan Kania. Masalah yang sampai sekarang tidak Bara ketahui penyebabnya. Kania tiba-tiba bersikap dingin. Bahkan ketika Bara mencoba menggandeng tangannya, Kania malah melepasnya tanpa memberikan penjelasan. Pada akhirnya Bara frustrasi dan memilih mengabaikan cewek itu untuk sementara.

Hari ini adalah babak semi final. Tim basket putra SMA Dirpan akan bertading pada sesi pertama. Sekarang masih sangat pagi, dan SMA Venus belum terlalu ramai. Bara berada di belakang gudang, tempat yang sama saat ia berhasil berciuman dengan Kania. Kali ini ia bersama seorang cewek, tapi bukan Kania, melainkan dengan Chika.

Chika adalah pacarnya barunya. Mungkin sudah sekitar empat hari yang lalu. Dia adalah cewek yang hendak berciuman dengannya tetapi digagalkan oleh Kania. Hari ini mereka memiliki janji untuk bertemu kembali, di tempat yang sama seperti waktu itu.

"Semoga nggak ada Kania lagi!" Sambil mengatakan harapannya, Chika melingkarkan tangannya di leher Bara. Dia sedikit berjinjit karena perbedaan tinggi mereka yang lumayan jauh. "Dia pengganggu." Cewek itu memasang wajah cemberut yang terlihat imut.

Bara tertawa kecil, lalu tangannya melingkar di pinggang langsing Chika. "Dia nggak mungkin ke sini," sahut Bara. Cowok itu memiringkan kepalanya dan perlahan mendekatkan wajahnya.

Chika tersenyum dan memejamkan matanya. Dia merasakan sesuatu yang kenyal mendarat di bibirnya, melumat dengan lembut dan sesekali menggigit bibir bawahnya.

Bara mencari kenikmatan dari ciuman itu, namun tidak juga ia dapatkan. Momen ketika ia mencium Kania malah berputar kembali di kepalanya, rasa bibir Kania yang unik, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ciuman panas tanpa melibatkan nafsu untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Itu ciuman yang membawa sesuatu asing merambat dalam lingkup hatinya. Bara tidak bisa menjelaskannya secara gamblang, dia hanya bisa mengatakan berciuman dengan Kania adalah pengalaman paling menyenangkan yang pernah ia rasakan.

Tapi, kenapa dalam situasi ini ia malah memikirkan itu?!

Bara melepaskan tautan bibirnya dengan tiba-tiba. Dia menatap bibir Chika, dan sekali lagi menempelkan bibirnya, melumat bibir cewek itu, dari yang awalnya lembut sampai menjadi lumatan yang kasar. Tapi sama saja, Bara tidak menemukan kenikmatan dalam ciuman itu. Rasanya hambar.

Lagi, Bara menjauhkan wajahnya. Ia melepaskan tangannya dari pinggang cewek itu, tubuhnya juga menjauh, mengambil tiga langkah mundur. Bara mengusap bibirnya yang basah dengan ibu jari. "Gue cabut." Hanya dua kata itu yang diucapkan Bara setelah gagal mendapat kesenangan dari ciuman itu.

Chika tidak terima dan menahan tangan Bara. "Kenapa cepet banget?" tanya Chika dengan sorot nanar, menginginkan hal itu lagi, bahkan kalau bisa, mereka melakukan hal lebih dari ciuman.

Bara menyingkirkan tangan Chika. "Gue mau latihan ringan sebelum tanding." Setelah mengatakan itu, Bara bergegas pergi, tidak lagi mempedulikan Chika yang merengek.

Bara berjalan dengan penuh tanda tanya di benaknya. Ada yang salah dengan dirinya hari ini atau memang rasa bibir Chika yang kelewat hambar? Bara tidak bisa menentukan jawaban mana yang benar. Tapi karena frustrasi memikirkan itu, akhirnya Bara meyakinkan diri bahwa bibir Chika-lah yang rasanya kelewat hambar.

Bara menenangkan pikirannya dan berusaha fokus pada pertandingan yang akan dimulai satu setengah jam lagi. Dia berjalan menuju lapangan outdoor SMA Venus untuk berlatih ringan bersama timnya sebelum pertandingan dimulai.

***

Saat pertandingan akan dimulai, Bara menyapu pandangannya ke seluruh tribune, mencari sosok yang diinginkannya hadir menonton dirinya bertanding. Namun, Bara hanya melihat figur Alci yang duduk di tribune kiri deretan paling atas. Cewek itu tersenyum padanya dan memberikan semangat lewat gerakan tubuh. Bara tidak mau repot membalas senyum itu, dan malah membuang pandangannya ke arah lain.

Bahkan sampai pertandingan berakhir, orang yang Bara tunggu-tunggu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal timnya menang dengan total skor jauh dari lawan, tapi Bara tidak terlihat senang. Rekan setimnya tahu apa penyebab Bara tidak terlihat senang.

Tentu saja karena Kania tidak datang untuk menonton!

Setelah pelatih tim basket putra SMA Dirpan memberi beberapa patah kata untuk diucapkan, Bara langsung keluar dari gedung olaharaga. Dipon mengikutinya tanpa disuruh.

"Mau cari Kania?"

Bara mengangguk. "Tapi gue ke toilet dulu."

"Kebetulan gue juga kebelet."

Dipon dan Bara berjalan bersama ke toilet yang berada di lantai dasar gedung utama SMA Venus. Tetapi toilet di sana penuh, karena banyaknya murid SMA lain yang datang, itu wajar.

"Harusnya kita ke toilet yang ada di gedung olahraga," ujar Dipon.

"Sama aja, rame."

"Tadi Reval ke toilet yang ada di lantai tiga, katanya sih sepi. Kita ke sana aja kali? Siapa tau ketemu Kania juga," usul Dipon yang langsung disetujui oleh Bara. Mereka pun segera pergi ke lantai tiga di gedung itu, menuju toilet yang letaknya berada paling ujung. Mereka melihat peringatan toilet rusak di depan pintu toilet wanita. Awalnya mereka mengabaikannya, tapi saat mendengar suara tawa dari beberapa cewek, dan suara memohon yang terdengar lirih, kedua cowok itu kontan menatap satu sama lain.

"Gue yakin ini tanda peringatan palsu." Dipon menendang tanda peringatan toilet rusak itu. "Mau cek ke dalem? Ada yang dibully kayaknya."

Bara tidak mendengar kata-kata Dipon, ia langsung berjalan mendekati pintu toilet wanita, memutar knop pintu dan mendorongnya. Pemandangan di dalam sukses membuat darah di seluruh tubuh Bara mendidih!

Di ujung toilet ada Hana dalam kondisi basah kuyup. Sepupunya itu sedang mememeluk seorang cewek yang tidak lain adalah Ratih. Dan di depan Hana ada Kania yang membawa ember kosong, yang hendak dipakaikan ke kepala Hana.

Kehadiran Bara membuat semua orang di dalam toilet itu terkejut bukan main. Bara memiliki aura yang menakutkan ketika benar-benar marah, dan itu mampu menekan orang-orang sekitarnya. Atmosfer di dalam sana berubah mencekam. Ini jauh lebih menegangkan dari film action!

"Bangsat!"

Bara mendekati Kania dengan tatapan tajam penuh amarah. Rahangnya mengeras bersamaan dengan kepalan tinjunya yang menguat. Bara mengangkat kepalan tinju itu, siap mendaratkannya ke wajah cewek yang ada di depannya.

Kania reflek menjatuhkan ember kosong yang dipegangnya dan menyilangkan kedua tangannya sebagai temeng untuk melindungi wajahnya dari tinju Bara. Mata cewek itu terpejam dengan sangat erat.

Setelah sekian lama, Kania merasakan kembali apa yang dinamakan rasa takut selain pada masa lalunya.

Hana langsung berdiri dan memeluk Bara dari belakang, berhasil menghentikan pergerakan Bara yang berniat melayangkan tinju ke arah Kania. "Gue nggak pa-pa! Gue nggak pa-pa, Bara!"

Mengetahui Hana berhasil menghentikan Bara, Kania memberanikan diri menurunkan tangannya dan membuka matanya secara perlahan. Tepat ketika itu, hal pertama yang ia lihat adalah sorot mata Bara yang masih dipenuhi dengan amarah. Kania tidak menyadari bahwa matanya berkaca-kaca, tetapi dia sadar bahwa tadi ia menunjukkan rasa takutnya.

Kania benci itu.

Rahang Kania mengeras. Tanpa mengucapkan apa-apa, ia beranjak pergi. Kecuali Bara, semua melihat kepergian Kania.

Kali ini Bara beralih melihat teman-teman Kania yang tersisa. "Urusan gue sama kalian belum selesei." Bara berbalik untuk pergi. Tidak lupa ia membawa Hana bersamanya. Tepat saat ia keluar dari toilet, ia berpapasan dengan Alci. Tetapi Bara melewati cewek itu begitu saja.

Alci yang langsung mengerti dengan situasi merasa agak lega karena kali ini ia tidak terlibat. Jika Bara melihatnya menindas Hana, sudah pasti hubungan mereka akan kandas saat ini juga.

****

Ini pendek banget jadi aku up lagi besok.

Semoga suka!

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now