EMPAT PULUH LIMA

30.5K 1.7K 33
                                    

Sepulang sekolah Kania mampir ke Orange Cafe terlebih dahulu. Dia duduk sendirian di meja dekat kaca yang memperlihatkan langsung pemandangan jalan raya. Milkshake stroberi yang ia pesan sama sekali belum disentuhnya. Pikirannya masih melayang pada perkataan Hana soal Ratih.

Kania mengesah pelan, berusaha tidak terganggu dengan rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Namun sekeras apa pun ia berusaha, hasilnya tetap sia-sia.

Maaf.

Kania mengucapkan kata itu dalam hati, yang jelas ditunjukkan untuk Ratih. Namun Kania tahu permintaan maafnya sama sekali tidak berarti. Semuanya terlalu terlambat.

Suara notifikasi pesan mengalihkan perhatian Kania. Ia melirik ponselnya di atas meja dan membaca isi pesan yang dikirim oleh Reno—menanyakan mengapa ia belum pulang. Kania tidak berniat membalasnya dan akan melakukah hal itu nanti—kalau ingat.

Entah bagaimana Kania tiba-tiba memikirkan soal Bara. Kata Hana, saat ini Bara sedang sakit. Setelah diingat-ingat, selama hampir dua minggu ia tidak keluar rumah dan selama itu pula ia tidak bertemu Bara atau sekadar berkomunikasi lewat aplikasi chatting. Jadi, haruskah ia pergi menemui Bara sekarang?

Kania spontan menggeleng. Kenapa ia memikirkan hal konyol semacam itu? Dan secara tiba-tiba Kania mengingat obrolannya dengan Reno beberapa waktu lalu ketika Kania menginap di rumah Reno.

*

"Gue suka sama Bara." Sulit untuk mengakui ini. Namun kali ini Kania tidak berusaha mengelak lagi. Faktanya, ia menyukai Bara. Meski ia sama sekali tidak menyukai fakta itu.

"Hah?" Reno agak kesulitan mencerna pengakuan yang dikatakan Kania secara tiba-tiba. Lima menit yang lalu Kania memaki Bara habis-habisan, mengatakan bahwa Bara brengsek, dan menyebut Bara dengan nama hewan. Tetapi sekarang Kania justru mengatakan bahwa dia suka dengan Bara. Pernyataan yang mengatakan bahwa wanita sulit dimengerti ternyata memang benar.

"Setelah gue pikirin lagi, gue emang suka sama Bara, kayak apa yang lo bilang waktu itu." Kania menunjukkan wajah tak berdaya. "Tapi kenapa harus cowok brengsek kayak dia," gumamnya, agak kesal. Kania sendiri tidak tahu apa yang ia suka dari Bara. Perasaan konyol itu datang tiba-tiba. Jika bisa, Kania lebih suka tidak menyukai Bara.

Reno tersenyum. Setidaknya Kania tidak berusaha untuk mengelak lebih lama lagi. "Bener, itu pertanyaannya. Kenapa harus cowok brengsek kayak dia?" Reno menatap Kania dengan sorot serius. "Sekarang lo mau lanjut atau berhenti? Kalau lo lanjut, kemungkinan hal yang terjadi hari ini bakal terjadi lagi, kecuali dia punya niat untuk ngerubah dirinya. Tapi kalau lo pilih berhenti, pendam perasaan lo sampai perasaan itu hilang sendiri. Agak susah sih emang, apalagi ini cinta pertama, susah banget dilupain. Tapi itu pilihan paling aman."

Kania tidak langsung menjawab, melainkan merenung sebentar.

"Tebakan gue sih, lo bakal pilih lanjut, karena kali ini yang lo pakai hati bukan otak."

Kania menjitak kening Reno. "Sok tau!"

"Ya berarti lo pilih berhenti? Udah lo putusin nih?" tanya Reno sembari mengusap keningnya yang agak memerah akibat jitakan Kania. Melihat Kania tidak langsung menjawab dan memasang ekspresi ragu, Reno tersenyum puas.

Kania tidak mengerti mengapa ia tidak langsung menjawab iya. Seharusnya ia tidak perlu berpikir untuk memilih mengubur perasaannya, namun entah kenapa ia kurang bisa menerima pilihan itu. Pada akhirnya ia tidak menjawab dan membiarkan obrolan ini berlalu begitu saja.

*

Mengambil ponsel dan ranselnya, Kania bergegas pergi meninggalkan Cafe. Dia masih belum memutuskan untuk berhenti atau lanjut, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk segera pergi menemui Bara. Kania tidak tahu mengapa ia bertindak tanpa berpikir, dia bukanlah orang seperti ini. Namum, apa pun yang akan terjadi selanjutnya, Kania hanya berharap sesuatu itu bukan hal yang akan membuatnya menyesal.

IDENTITY (END) Onde histórias criam vida. Descubra agora